eramuslim.com – Calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan dalam debat cawapres lantaran menggunakan istilah asing ketika bertanya kepada cawapres lain.
Salah satu istilah yang menjadi perhatian adalah ketika Gibran bertanya kepada cawapres nomor urut 01, Muhaimin Iskandar tentang State of Global Islamic Economy (SGIE).
Pengamat Komunikasi Politik dari Pusat Kajian Pembangunan Daerah (PKPD), Wahyuningsih Subekti mengatakan ada dua hal yang bisa dicermati dari Gibran di debat cawapres, yakni terkait penampilan dan penggunaan kata-kata, serta istilah asing. Terkait penampilan, Wahyuningsih menilai Gibran dalam situasi over confidence.
Ia berusaha tampak menguasai bidang yang ditanyakan oleh panelis walaupun jawaban yang disampaikan meskipun sebenarnya tidak menjawab pertanyaan.
Dengan gayanya yang meyakinkan, intonasi nada bicara dan ritme yang diatur, Gibran juga mengesankan dirinya menguasai materi tersebut.
“Tetapi faktanya tidak menyimak apa isi pesan dari pertanyaan panelis. Bahkan pertanyaan yang dilontarkan kepada cawapres lainnya, pada sesi 3, cenderung tidak berada dalam koridor tema sesuai arahan dari moderator acara debat,” ujar Wahyuningsih dalam keterangan resmi, Senin (25/12/2023).
Kemudian, Wahyuningsih menyebut penggunaan kata-kata dan istilah yang tidak umum didengar oleh masyarakat pada umumnya juga menarik. Misalnya, Carbon Capture and Storage dan SGIE.
Padahal, dia berkata yang harus diperhatikan dalam hal ini sebenarnya adalah pemilihan kata-kata yang mudah dimengerti oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, bukan hanya oleh sekelompok elite dan akademisi saja.
Pemberian narasi awal sebelum masuk ke dalam pertanyaan juga dapat mempermudah masyarakat untuk memahami apa yang hendak dipertanyakan, bukan langsung ke pertanyaan dan menggunakan kata-kata atau istilah asing.
“Sehingga yang memang dibutuhkan dari seorang pemimpin untuk masa yang akan datang antara lain adalah menjadi active listener, mendengarkan secara seksama pesan yang disampaikan oleh lawan bicara, memahami secara dalam apa yang menjadi pokok permasalahan dan memberikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi,” ujarnya.
Wahyuningsih menambahkan memiliki keahlian sebagai Code Switcher, memahami cara memilih istilah atau kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada lawan bicaranya dalam konteks apa juga sangat penting sehingga tidak terkesan menguji dan menjatuhkan lawan bicaranya.
“Pemimpin di masa yang akan datang tidak hanya mengedepankan Impression Building. Membangun kesan yang baik didepan audience, terutama generasi Z yang sangat men’Dewa’kan istilah-istilah asing, sehingga dianggap ia pintar,” ujarnya.
“Seseorang akan dinilai pintar jika ia bisa menyampaikan sesuatu yang sulit menjadi mudah dimengerti oleh seluruh kalangan audience. Jika sebaliknya, maka kesan yang muncul hanyalah arogansi dan sok keminter,” ujar Wahyuningsih
(Sumber: Tvone)