Ormas-ormas Islam belum sepakat tentang penerapan Mahkamah Syariah di Aceh. Utusan Nahdhatul Ulama (NU) menganggap Mahkamah Syariah berlaku bagi semua orang yang ada di Aceh, sedangkan Muhammadiyah mengganggap Mahkamah Syariah tidak bisa diterapkan bagi kalangan non Muslim.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RPDU) antara Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemerintahan Aceh (PA), Kamis (2/3), dengan sejumlah lembaga Islam, antara lain, Muhammadiyah, NU, serta Al-Jamiyatul Washliyah yang diminta memberi masukan atas RUU yang sedang dibahas.
Wakil dari Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, Masyhuri Naim, menjelaskan, Mahkamah Syariah di Aceh bisa diterapkan pada semua kalangan. Dijelaskannya, dasar yang digunakan adalah asas teritorial.”Berlakunya
suatu peraturan undang-undang (utamanya hukum pidana), dari suatu negara didasarkan pada tempat suatu perbuatan dilakukan dan di tempat yang termasuk wilayah berlakunya suatu undang-undang,” kata Masyuri.
Dengan demikian, lanjutnya, tidak logis adanya perbedaan perlakuan hukum bagi orang yang melakukan suatu kejahatan. Atau tidak selayaknya perbuatan melawan hukum diadili dengan dasar hukum yang berbeda.
Selain itu, perlakuan yang sama tanpa membedakan SARA, akan melahirkan effisiensi dalam penyelenggaraan peradilan. Menjadi tidak efisien jika ada pembedaan antara Muslim dan non Muslim. Apalagi jumlah non Muslim sangat sedikit, sehingga tidak efektif kalau harus dibuat peradilan khusus bagi non Muslim.
Masyuri mencontohkan orang Amerika Serikat (AS) yang melakukan kriminal di Arab Saudi dan dihukum dengan hukum di negara itu. ”Yang digunakan bukan hukum Amerika, ” saran Masyuri. Kondisi ini juga harus diberlakukan di Aceh, sambungnya.
Sementara itu, menurut Ketua Lembaga Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Hasballah M Saad, Mahkamah Syariah tidak bisa diterapkan kepada orang non Islam. Dijelaskannya, Indonesia menganut dua sistem hukum, hukum nasional dan hukum daerah. Kondisi ini berbeda dengan di Arab Saudi.
Menurut Hasballah Arab Saudi hanya ada satu sistem hukum, yaitu Islam. ”Kita kan tidak bisa membubarkan pengadilan negeri di Aceh, sebab pengadilan negeri merupakan bagian kerangka NKRI,” paparnya.
Ditambahkan Hasballah, pelaksanaan syariah Islam di Aceh juga belum optimal. Hukuman yang diterapkan baru hukum cambuk. Sementara, ketentuan hukum yang lebih substantif belum dilaksanakan. Misalnya, masalah Badan Amil Zakat yang kredibel dan akuntabel. ”Begitu juga soal keadilan,” papar mantan Menteri HAM era Gus Dur.
Seharusnya, kata Hasballah, penjarakan dulu orang kaya yang tidak bayar zakat, sebab pencurian terjadi karena pembagian zakat belum adil.
Terkait dengan Qanun, LBH NU berpendapat Qanun adalah peraturan pelaksanaan dari UU Pemerintahan Aceh. Kedudukan Qanun sejajar dengan PP, yang dibagi menjadi dua level, yaitu provinsi dan kabupaten yang tidak sama dengan Perda.
Sementara Hasballah, menganggap Qanun memiliki dua posisi. Sebagai Perda serta PP. Dijelaskannya, Undang-undang Khusus tentang Aceh harus dilihat sebagai undang-undang. Sehingga PP-nya adalah Qanun selain sistem hukum nasional, lanjutnya, Qanun merupakan bagian dari sistem hukum tersebut yang
dilaksanakan di daerah. "Jadi setara dengan peraturan daerah,” kata Hasballah, yang asal Aceh. (dina)