Nahdlatul Ulama membolehkan hukuman mati bagi koruptor. Namun hukuman mati baru boleh dilakukan setelah perbuatannya dilakukan berulang-ulang dan tidak menimbulkan efek jera.
Hal tersebut terungkap dalam sidang komisi Bahtsul Masail Ad Dinoyah Al Waqi”iyah di Pesantren Kempek, Ahad 16 September 2012. “Space kita terhadap toleransi sebenarnya sangat kecil,” katanya KH Saifuddin Amsir ketua komisi sekaligus Rois Syuriah PBNU.
Namun menurut Amsir, Islam sangat berhati-hati dalam menghilangkan nyawa seseorang. “Kita tidak bisa begitu saja menghilangkan nyawa seseorang,” katanya. Selama masih ada sesuatu yang samar-samar, nyawa seseorang tidak bisa begitu saja dihilangkan.
Seseorang baru bisa dijatuhi hukuman mati jika telah masuk dalam kriteria sudah merusak, tidak bisa diatasi serta tidak ada jalan keluarnya lagi. “Kasus (korupsinya) pun dilakukan berulang-ulang,” katanya. Jika masuk dalam kriteria ini, hukuman mati bagi koruptor bisa dilakukan.
Hal yang sama pun diungkapkan KH Arwani Faishal, wakil ketua Bahtsul Masail. “Boleh dilakukan hukuman mati, jika pelaku sudah melakukannya berulang-ulang,” katanya.
Hukuman mati ini untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi karena terus berulang kali melakukan tindakan korupsi.
Karena berulang-ulang, maka hukuman mati baru bisa dijatuhkan jika seseorang sebelumnya sudah diberi hukuman sebelumnya di pengadilan. “Jadi memang tidak melihat besar dan kecilnya (korupsi) tetapi dari tindakannya yang berulang-ulang,” katanya.
Namun karena bersifat fatwa, Arwani pun menjelaskan jika sifatnya tidak memaksa. “Tidak ada satu ormas pun yang bisa memaksakan fatwa kepada pemerintah,” katanya. Namun fatwa ini akan tetap diberikan kepada pemerintah. (fq/tempo)