Eramuslim.com – Pengamat ekonomi-politik senior, Ichsanuddin Noorsy turut berkomentar terkait kasus Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang telah menistakan agama Islam dan Al-Quran.
Menurut Ichsan, sejak pidato Ahok di Pulau Seribu diunggah dan menyebar luas tentang penistaan agama, potensi keributan sosial politik terus meningkat.
Dia pun merunut, dimulai dengan unjuk rasa ummat Islam yang menyebar ke seluruh tanah air, pelaporan Ahok ke Bareskrim, Fatwa MUI bahwa pernyataan Ahok adalah penistaan agama, undangan 35 Pimred ke Istana, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto di Hambalang, hingga undangan silaturahim Jokowi kepada Pengurus MUI, PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama.
“Ini mengindikasikan betapa pemegang kekuasaan fomal memandang perlu merespon situasi dan rencana demonstrasi pada 4 Nopember 2016 lalu,” ujar Ichsan dalam keterangan resmi yang didapat Aktual.com, Selasa (1/11).
Menurut Ichsan, Ahok terkesan dilindungi hukum dan kekuasaan formal, namun dia tetap tampil percaya diri dalam kampanyenya, kendati masyarakat sendiri mengusirnya saat Ahok berkunjung, sebagaimana terjadi di tempat dan waktu yang berbeda.
Kondisi tersebut, dikatakan Ichsan, pemegang kekuasaan dan penegak hukum malah ‘merabunkan pandangan’-nya dengan mengatakan, “demonstrasi adalah hak, tapi jangan memaksakan kehendak. Hukum pun harus ditegakkan dan negara tidak boleh dikalahkan oleh tekanan kelompok tertentu”.
“Artinya, dati kondisi itu memposisikan keadaan yuridis formal berhadapan dengan yuridis sosiologis dan yuridis filosofis. Yakni keabsahan hukum formal yang digunakan penguasa dan penegak hukum tidak berpijak pada kenyataan dan bersitegang dengan cita-cita bersama,” kritik Ichsan.
Jauh sebelum kasus ini menyeruak, kata Ichsan, dirinya sudah mengajukan beberapa pertanyaan kepada sejumlah petinggi politik, ada menteri, anggota DPR, serta pimpinan parpol, bahkan penegak hukum (perwira tinggi kepolisian) serta pemilik modal (beberapa konglomerat papan atas).
Ichsan bertanya, apakah sikap dan pernyataan Ahok terhadap Al Qur’an surat Al Maidah 51 itu sedang mengutuhkan atau meruntuhkan tatanan sosial yang sedang rentan, karena liberalisme ekonomi dan politik?
Jika sedang mengutuhkan tatanan sosial, apakah buahnya mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya ? Lalu, apa dampaknya bagi parpol yang mendukung dan mengusungnya di tengah kepercayaan masyarakat terhadap parpol di titik nadir ?
“Pertanyaan ini tentu tak dijawab, bukan karena tidak bisa menjawab. Tapi lebih karena telah menyentuh hati nurani mereka. Di sini saya melihat bahwa masih ada secercah harapan akan hadirnya keinginan luhur para pemegang kekuasaan dan penegak hukum,” cetus dia.
“Asumsi saya, mereka masih mendengarkan bisik hati nurani mereka sendiri. Nyatanya muncul operasi tangkap tangan KPK di Kemenhub, beredar pengerahan anggota Brimob, dan tersiar alasan hukum tidak memeriksa seseorang yang terdaftar sebagai Cagub ?” imbuh dia.
Intinya, cetus Ichsan, penguasa dan penegak hukum menolak permintaan memeriksa dan memenjarakan Ahok. Padahal jika cerdas, Ahok tetap diperiksa, sedangkan statusnya ditetapkan kemudian.
Tapi jika dilihat dari kasus-kasus sebelumnya. Kecil peluang Ahok ditangkap. Kasus Trans Jakarta yang membawa korban Udar Pristono menjadi terpidana, kasus tanah BMW, kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Reklamasi yang memposisikan Sanusi dan Ariesman sebagai terpidana korupsi dan Aguan hanya dicekal KPK. Aguan malah berkunjung ke Istana.
“Dengan merujuk kasus-kasus di atas dan beberapa kasus lain di bidang politik dan ekonomi, maka saya memahami esensi situasi kondisi ini sebagai penerapan negara kekuasaan,” jelasnya.
Namun, kata dia, dalam konstruksi ketatanegaraan, negara kekuasaan adalah negara yang memiliki kekuasaan formal berdasarkan proses politik yang sah menurut hukum. Pemegang kekuasaan boleh mengambil keleluasaan kebijakan (diskresi) sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, azas kepatutan, perundang-undangan yang berada di atasnya, dan azas-azas umum pemerintahan yang baik.
“Tetapi negara pun, kata dia, menerapkan azas legalitas atau hukum tertulis sepanjang hal itu menguntungkannya,” pungkas dia.(kl/akt)