Eramuslim.com – Lima nelayan bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menggugat Ahok ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.
Mereka mengadukan gugatan administratif terhadap izin reklamasi di Pulau yang ada di kawasan Tangerang sampai Muara Gembong yang tertuang dalam Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014.
Wakil Sekjen DPP KNTI Niko Amrullah menyebut, gugatan dilakukan lantaran hak-hak nelayan kecil tradisional terabaikan. Selain itu, kepentingan pelestarian lingkungan hidup pesisir Teluk Jakarta dan pelanggaran prosedur hukum juga diduga dilakukan.
“Kami menuntut dicabutnya kepgub tersebut dan meminta hakim memerintahkan Gubernur DKI Jakarta mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem lingkungan hidup yang telah rusak,” ungkapnya, lewat pesan elektronik kepada Rakyat Merdeka.
Dikatakan Niko, regulasi-regulasi baru seperti Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang tata ruang, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan beberapa UU lainnya yang mengisyaratkan adanya proses partisipasi, perlindungan lingkungan hidup, perlindungan nelayan kecil dan keterbukaan.
Sedangkan Ahok menyebut, reklamasi sudah dibahas sejak zaman Presiden Soeharto. “Reklamasi yang ditetapkan Presiden Soeharto pada era rezim Orde Baru dilakukan melalui proses tertutup, sentralistik, tanpa perlindungan lingkungan hidup dan perlindungan nelayan kecil,” sebutnya.
Terkait hal ini, Ketua KNTI Jakarta Muhammad Taher mengungkapkan, Surat Keputusan Gubernur Ahok berdampak betul kepada nelayan, yakni membunuh secara perlahan nelayan tradisional.
“Sudah mulai proses reklamasinya. Nelayan sudah tidak bisa melaut lagi, ini sama saja membunuh kehidupan nelayan, nggak bisa menangkap apa apa,” katanya saat menggugat di PTUN Jaktim.
Akibatnya, sekitar 8.000 kepala keluarga terkatung-katung nasibnya akibat megaproyek tersebut. “Dampak luasnya, nelayan Jakarta, Banten dan Indramayu dipastikan tidak dapat ikan, karena di kawasan tersebut tempat menetaskan telurnya,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Taher, setelah berjalan selama tiga tahun, proyek reklamasi ini memaksa nelayan mencari pekerjaan lain. “Ada sekitar 100 sampai 150 nelayan terpaksa beralih profesi menjadi pemulung,” sebutnya.
Selain itu, kata Taher, nelayan juga beralih profesi menjadi sopir angkot atau pedagang ikan yang mengambil ikan dari daerah lain seperti Cirebon.
Sekjen KNTI Untung Sukaedi menambahkan, sebelum ada proyek, nelayan hanya cukup berlayar sejauh 5 mil untuk mencari ikan. Namun sejak ada proyek, harus di atas 10 mil. “Kalau tidak, akan dikejar oleh patroli. Padahal tak semua nelayan memiliki kapal yang sanggup berlayar hingga 10 mil,” paparnya.
Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menuding, pemprov mengeluarkan izin reklamasi secara sembunyi-sembunyi.
Bahkan dikatakannya, reklamasi di Teluk Jakarta tidak ada kajian seperti di Teluk Benoa, Bali yang melampirkan kajian-kajian dari Universitas Udayana. “Selama ini, masyarakat tidak pernah mengetahui pemberian izin reklamasi. Itu melanggar hukum, sebab tidak ada konsultasi publik mengenai hal itu. Sama sekali tidak tahu informasi itu,” ujarnya.(rd/RMOL)