Mushaf Al-Quran berusia lebih dari dua abad dari Afrika Selatan hilang di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, sejak 2006 dan kini keluarga pemilik kitab suci ini meminta bantuan media tanah air agar dapat menemukannya.
"Kami kehilangan Al-Quran yang istimewa itu di Bandara Soekarno-Hatta, tepatnya pada 23 Maret 2006, " ujar pemilik sah Al-Qur’an tersebut, Syaikh Abubaker Abduraouf, kepada wartawan di Kedutaan Besar Afrika Selatan, Jakarta, Selasa (5/6).
KIsahnya, Syaikh Abubaker Abduraouf dan isterinya, Adela, pada 2006 berencana untuk menapaktilasi perjalanan leluhurnya ke Tidore, Maluku. Mereka berangkat dari Cape Town dan tiba di Jakarta pada 21 Maret 2006.
Setelah menginap selama dua hari di Jakarta, mereka berencana menuju ke Tidore dan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta. Apesnya, taksi yang mereka tumpangi, mengantar mereka ke terminal internasional dan bukannya terminal domestik.
Lantaran terburu-buru, mereka lalu naik kendaraan alternatif yang berjenis Toyota van berkapasitas tujuh penumpang dan berwarna emas metalik. Pengemudi kendaraan itu adalah lelaki berusia 40-an awal yang memakai seragam berwarna terang.
Sesampainya di terminal domestik, mereka segera menurunkan barang bawaan satu per satu. Mushaf Al-Quran yang dibawa dalam tas berwarna hitam dan ditaruh di kursi depan sebelah kiri pengemudi dimaksud untuk diturunkan terakhir.
Tapi, ketika Abduraouf dan isterinya kembali untuk menurunkan Al-Quran, kendaraan itu telah menghilang membawa kitab suci bersejarah tersebut.
Mereka lalu melapor kepada pihak keamanan bandara dan memberitahukan bahwa mereka akan kembali pada 27 Maret 2006 sekiranya ada orang yang mengembalikan kitab suci itu. Tapi hasilnya nihil.
Oleh karean itu, Abduraouf dan pihak Kedubes Afsel di Indonesia meminta agar warga Indonesia yang menemukan atau mengetahui tentang keberadaan Al-Quran tersebut agar melaporkannya ke pihak kedutaan atau bisa melalui media.
"Kami tidak akan memberikan semacam komitmen reward, tetapi untuk hal itu kami menyerahkan kepada pihak keluarga. Kami hanya akan menghubungkan orang yang menemukannya dengan keluarga Abduraouf, " ujar Konselor Politik dan Perdagangan Kedubes Afsel, Mike Mambukwe.
Ia menegaskan, kasus ini bukanlah termasuk ranah politik, tetapi lebih kepada hal yang bersifat keagamaan dan kemanusiaan. Mengenai alasan mengapa baru sekarang menyebarluaskan insiden terjadi setahun lalu itu, Abduraouf mengaku baru bisa melakukannya sekarang, karena mereka tidak memiliki banyak uang agar dapat bertolak ke Indonesia untuk mengurus kasus ini.
Seperti diketahui, mushaf ini ditulis dengan tangan di Afsel pada abad ke-18 oleh Abdullah Qaadi Abdus Salaam yang merupakan tahanan politik Belanda pada masa kolonial. Tokoh yang berasal dari Tidore, Indonesia, itu dibuang ke Pulau Robben di dekat Cape Town, Afsel, tepatnya pada tahun 1765.
Selama dalam masa pengasingan itu, dia menulis Al-Quran dengan tinta hitam, kecuali lafal Allah yang diwarnai dengan tinta merah. Sejak itu, kitab tersebut diwariskan dari generasi ke generasi hingga ke tangan penerusnya yang keenam, yaitu Syaikh Abubaker Abduraouf. (dina)