Basri menerangkan bahwa perbedaan antara KTP untuk para penghayat kepercayaan dan penganut agama bukanlah diskriminasi, namun berntuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda.
Sementara itu Sekjen MUI Anwas Abbas mengatakan bahwa pada dasarnya, MUI tidak bisa menerima penyamaan antara agama dan aliran kepercayaan.
Karena itu, Abbas menjelakan bahwa pemerintah harus membuat pembeda secara teknis dalam KTP, yaitu dengan mencantumkan kolom “kepercayaan” untuk para penghayat kepercayaan dan “agama” untuk para penganut agama resmi.
Pemerintah, menurut Anwar tidak akan kesulitan mencetak KTP dengan kolom “kepercayaan” bagi sekitar 200.000 penghayat aliran kepercayaan yang terdata pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
“Kami minta pemerintah segera merealisasikan hak ini untuk memenuhi hak-hak sipil warga negara penghayat kepercayaan,” ujar Anwar.
Sebelumnya, MK memutuskan kata “agama pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU administrasi kependudukan (Adminduk) tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk “kepercayaan”. Hal serupa juga berlaku untuk Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5).
Dengan demikian, para penghayat kepercayaan yang sebelumnya mengosongkan nama kepercayaanya pada kolom agama di KTP, sejak putusan tersebut bisa mencantumkannya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan pemerintah sebenarnya mempunyai alternatif yang sama dengan usulan MUI.
Hal ini sudah pernah dibicarakan dengan organisasi para ulama, beberapa saat setelah MK memutuskan perkara tersebut, kata Zudan.