MUI Kritik GP Ansor Bangil yang Tolak Ust. Felix Siauw

Pendapat hampir serupa juga diungkapkan oleh Galesh, aktivis dari kelompok yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, Gema Demokrasi (Gedor). Kepada Tirto, ia mengungkapkan bahwa pembubaran yang dilakukan oleh GP Ansor berlebihan dan telah merenggut hak-hak dasar warga untuk dapat berkumpul, berserikat dan mengungkapkan pendapat.

Seharusnya, tidak perlu ada pembubaran selama tidak ada ujaran kebencian serta hasutan untuk melakukan tindak kekerasan dalam forum tersebut. Jika pun ada, hal itu menjadi tanggung jawab kepolisian selaku penjaga keamanan dan ketertiban nasional.

“Kalau cuma diskusi, itu bagian dari hak mereka,” kata Galesh.

Masalahnya, kata dia, polisi sebagai penegak hukum kerap lalai dalam menangani laporan yang ada di masyarakat. Ia mencontohkan, misalnya, tidak adanya tindakan tegas kepolisian terhadap para pelaku utama pembubaran dan penyerangan diskusi dan acara di LBH Jakarta beberapa waktu lalu. “Padahal sudah vulgar sekali pengaduan dan kekerasannya,” katanya.

Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal GP Ansor Adung Abdul Rachman menampik adanya upaya pelarangan yang dilakukan GP Ansor Bangil terhadap acara Felix Siauw. Menurutnya, pihak Ansor sudah melakukan dialog beberapa hari sebelum acara tersebut dihelat. Memang ada pelarangan, tapi itu dilakukan oleh kepolisian.

“Yang melarang polisi. Itu kewenangan mereka,” ujarnya.

Namun, ia membenarkan bahwa memang ada upaya sadar dan terencana untuk membatasi segala aktivitas yang dapat merongrong pancasila. Menurutnya, GP Ansor berkomitmen untuk menjaga Pancasila dan NKRI dari paham-paham dan bentuk negara lain, tidak hanya khalifah, tapi juga komunisme. Itu sebab mengapa penolakan ini telah terjadi beberapa kali. Selain Bangil, penolakan GP Ansor terhadap Felix Siauw juga sempat muncul di Sragen dan Semarang.