Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang masuk kategori extra ordinary crime.Kendati sudah ada instrument hokum yang memberikan hukuman keras dan tegas terhadap pelaku korupsi,namun faktanya tindak pidana korupsi masih terus terjadi.Hukuman yang diberikan untuk pelaku tindak pidana korupsi tidak cukup memberikan efek jera.
Padahal dalam konsepsi Islam hukuman atau uqubah berfungsi sebagai zawazir dan mawani yang artinya membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut melakukannya.
Sebagai upaya membuat jera para koruptor, MUI pada kesempatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang berlangsung di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 29 Juni-2 Juli 2012 mengeluarkan fatwa terkait Perampasan Aset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Saat jumpa pers di Media Center Ijtima Ulama Ponpes Cipasung, ahad(1/7) Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh mengemukan tentang fatwa perampasan aset tindak pidana korupsi bahwa harta hasil korupsi harus dirampas negara yang dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Namun perampasan harta korupsi itu tidak mempengaruhi hukuman yang akan dijatuhkan saat di pengadilan.
“Fatwa perampasan aset koruptor ini merupakan hasil dari sidang komisi B-1 Ijtima Ulama. Fatwa ini diharapkan dapat membuat koruptor jera, sehingga mereka yang mau korupsi itu berfikir beribu-ribu kali sebelum melakukannya,” kata Asrorun Ni’am Sholeh, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat kepada wartawan.
Menurut Ni’am ada tiga poin yang dihasilkan Komisi B-1 terkait perampasan aset milik koruptor. Pertama, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti berasal dari korupsi adalah bukan milik pelaku. Karenanya, aset tersebut harus dirampas dan diambil oleh negara, sedangkan pelakunya dihukum.
Kedua, aset pelaku tindak korupsi yang terbukti bukan berasal dari tindak pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh dirampas negara.
Ketiga, aset pelaku tindak pidana korupsi yang tidak terbukti berasal dari korupsi, tetapi tidak bisa dibuktikan bahwa aset tersebut adalah miliknya (pelaku korupsi), maka diambil oleh negara.
“Pada poin tiga ini dilakukan pembuktian terbalik,” jelas Ni’am.
Sedangkan dalam rancangan fatwa Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan pencucian uang merupakan tindak pidana yang dilarang karena merupakan bentuk pencurian, pelaku tindakan ini dihukum dengan hukuman pengadilan yang berlaku. Sedangkan penerima uang dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya pada negara.
Lalu untuk apa aset koruptor yang dirampas itu? “Dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan perampasan aset ini sama sekali tidak menghilangkan hukuman bagi sang pelaku,” tambah Ni’am.
Terkait hal ini, pakar hukum tindak pencucian uang dari Universitas Trisaski,Yenti Garnasih mengingatkan pimpinan pesantren, alim ulama dan lembaga sosial berhati hati menerima sumbangan.
“Mereka harus berhati-hati menerima sumbangan, hibah, infaq atau pun wakaf dari seseorang yang jumlahnya di luar kewajaran. Karena
sekarang ini banyak orang yang melakukan tindak pidana korupsi, menyalurkan dananya ke lembaga sosial,” ungkap Yenti.
Pada pembahasan perampasan aset korupsi ini sempat juga ada usulan agar MUI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menerapkan hukum hudud. Pengusul ini meyakini bahwa hukum hudud dapat membendung maraknya kasus korupsi.
“Saat ini belum proporsional untuk menerapkan hukum hudud,” jelas Ni’am saat ditanya sikap MUI terhadap usulan tersebut. (M. Zakir Salmun)