Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang menegaskan bahwa praktik jasa penukaran uang yang mulai marak di jalan menjelang Lebaran ini, hukumnya haram.
Alasannya, dalam transaksi tersebut uang yang nilainya sama, ditukar dengan nilai lebih. Karena terdapat selisih, maka masuk unsur riba. Dan riba, menurut MUI, diharamkan dalam Islam. Penegasan itu dilontarkan oleh Ketua MUI Jombang, KH Cholil Dahlan, Kamis (2/8/2012).
“Seseorang yang ingin mendapatkan uang Rp 100 ribu dalam bentuk pecahan Rp 10 ribu-an, maka yang harus membayar sebesar Rp 110 ribu. Nah, dari situ terdapat selisih Rp 10 ribu. Itulah yang dinamakan riba dan haram hukumnya,” kata pengasuh Ponpes Darul Ulum Rejoso, Jombang ini.
Dia kembali menegaskan, kelebihan uang dalam tukar menukar barang yang nilainya sama adalah riba dan hukumnya haram. Ia lantas mencontohkan praktik riba pada zaman Nabi Muhammad SAW. Seorang sahabat menukarkan kurma berkualitas jelek sebanyak dua timbangan, dengan kurma kualitas bagus sebanyak satu timbangan.
Mengetahui hal itu, Nabi langsung menegur karena sahabat tersebut telah melakukan praktik riba. Nah, menurut Cholil, fenomena jasa penukaran uang tersebut tidak jauh beda dengan kisah sahabat Nabi yang melakukan penukaran kurma jelek dengan kurma kualitas bagus.
Karenanya, MUI mengimbau kepada masyarakat agar tidak menukarkan uangnya pada para penjual jasa penukaran uang baru. Jika tetap ingin menukarkan uang, lanjutnya, hal itu bisa langsung dilakukan di bank. Pasalnya, tidak ada kelebihan nilai yang harus dibayarkan.
“Pada prinsipnya, praktik tukar menukar uang boleh-boleh saja dilakukan, asalkan nominalnya sama dan tidak dilebihkan,” katanya.(fq/beritajatim)