Ketua MPRRI Hidayat Nurwahid menegaskan, keinginan membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selain melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, juga dapat menyuburkan paham yang beragama yang menyimpang.
"Oh iya, kalau MUI dibubarkan akan semakin kacau, karena menumbuhsuburkan paham beragama yang menyimpang, bukan hanya Islam saja, itu juga akan membahayakan kesatuan nasional, "ujarnya dalam Silaturahmi Dai se-Jabodetabek, di Aula Udaya, Graha Elnusa, Jakarta, Rabu(9/1).
Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi moderat pengayom para ulama dan zuama selalu berupaya berada di tengah-tengah perbedaan yang terjadi dikalangan umat Islam, namun keberadaan sering disalahartikan, bahkan diusulkan untuk dibubarkan yang belum lama ini tercetus dari mulut Mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Hidayat mengakui, keberadaan MUI sudah tepat, dengan cara memberikan rambu-rambu yang berupa fatwa dalam rangka menyelamatkan akidah umat dari kesesatan.
"Bisa dibayangkan, jika setiap orang mengaku sebagai nabi, ada yang mengaku reinkarnasi nabi, ada yang ngaku sebagai ibunya nabi Isa, negara ini akan seperti apa, "tukasnya.
Ia menyatakan, menuntut pembubaran MUI sama artinya menolak sesuatu yang dibenarkan dalam konteks hukum dan sosial di Indonesia.
"Ini memunculkan pertanyaan besar di balik tuntutan itu ada apa, bisa dibayangkan lembaga yang sah menurut UU negara, dituntut untuk dibubarkan oleh mereka, "imbuhnya.
Senada dengan itu, Ketua Komisi Fatwa MUI Anwar Arifin menilai, tuntutan pembubaran MUI karena fatwa yang dianggap memunculkan radikalisme dan fundamentalisme merupakan anggapan yang salah.
"Kita harus tahu dulu apa artinya fatwa itu, arti fatwa itu menjawab pertanyaan, apakah mungkin kita menghentikan pertanyaan yang muncul, jadi MUI harus menjawabnya, "katanya.
Ia mengakui, Indonesia merupakan satu-satunya negeri muslim yang tidak mempunyai lembaga penjawab, kecuali melalui fatwa-fatwa MUI. Sedangkan, negeri muslim lainnya mempunyai mukhti sebagai tempat bertanya, bahkan Singapura, Moskow, dan Bosnia juga ada.
Kalau fatwa Ahmadiyah yang memicu kekerasan, lanjut Anwar, sebaiknya tindak tegas saja pelaku kekerasannya, lagipula fatwa itukan sudah ada sejak tahun 1970-an, kenapa baru dipermasalahkan sekarang.
"Sebenarnya siapa aktor di belakang itu, jangan-jangan mereka sendiri, fatwa MUI itu belum apa-apalah, "pungkasnya. (novel)