DPR mengaku belum mampu menghentikan praktik politik uang (money politic) dalam rumusan Undang-undang (UU). Alasannya, hal ini telah berlangsung sejak era Orde Baru hingga sekarang dan kultur seperti ini sudah melekat di masyarakat.
Demikian persoalan yang mengemuka dalam rapat Pansus RUU Pemilu Legislatif dan RUU Pemilu Presiden/Wapres di Gedung MPR/DPR Jakarta, Kamis (19/7).
Anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar Rambe Kamarulzaman berharap, pada Pemilu 2009 mendatang para caleg tidak lagi direcoki perdebatan tentang mana kegiatan yang disebut melakukan politik uang dan mana yang bukan.
“Money politic memang luar biasa mempengaruhi pilihan rakyat.
Faktanya seperti itu. Tetapi, bagaimana cara mengawasinya, ” kata Rambe.
Akibat politik uang itu, dikhawatirkan Rambe membuat orientasi para wakil terpilih baik di legislatif maupun eksekutif hanya memikirkan uang yang telah dikeluarkan saat kampanye. Ia mengatakan tidak habis pikir, dirinya melihat seorang calon kepala daerah yang menghabiskan biaya pencalonan di pilkada melebihi biaya pendapatan daerah daerah (PAD).
Karena itu, ia cenderung berpendapat agar masa kampanye ditiadakan saja, karena pada dasarnya untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat seorang calon melakukan dengan berbagai cara.
“Jadi lebih bagus biarkan saja. Kalau ada pembatasan seperti masa kampanye, menurut saya hanya membohongi saja. Menurut saya, kedekatan wakil rakyat dengan rakyat yang dipimpinnya bukan dipupuk pada masa kampanye, tetapi kontinuitas pola hubungannya. Kalau tidak dekat tentu tidak dipilih, ” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang juga mantan anggota Panwaslu Topo Santoso mengatakan, politik uang merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang banyak dilakukan pada Pemilu 2004. Dari bentuk pelanggaran yang ada, diakui Topo, dana kampanye fiktif dan politik uang sebagai bentuk pelanggaran yang sulit untuk diawasi Panwaslu.
Hingga saat ini, katanya, aparat penegak hukum belum menyelesaiakan tunggakan perkara yang telah dilaporkan Panwaslu. Dari 8. 013 kasus pelanggaran pemilu, hanya 2. 282 kasus yang ditindaklanjuti oleh KPU Pusat dan KPUD. Sementara, dari 2. 413 kasus tindak pidana, hanya 1. 253 kasus yang diteruskan penyidik Kepolisian kepada Kejaksaan. Dari jumlah tersebut hanya 1. 065 kasus saja yang berhasil dibawa ke pengadilan. (dina)