Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil terhadap UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengenai ketentuan poligami. Perkara tersebut diajukan oleh satu orang pemohon yang bernama M. Insa S. H, seorang wiraswasta asal Jakarta.
Dalam sidang pertama, pemohon menganggap UU Perkawinan, khususnya pasal 3 ayat 1 dan 2, pasal 4 ayat 1 dan 2, pasal 5 ayat 1, pasal 9, pasal 15, dan pasal 14 UU tersebut bertentangan dengan pasal 28B ayat 1, pasal 28 ayat 1, pasal 28I ayat 1 dan 2, pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Di mana pasal-pasal dalam UU Perkawinan itu telah mengambil hak konstitusionalnya, untuk mendapatkan hak beragama dengan membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah secara poligami, sesuai dengan pedoman hukum perkawinan Islam yang diakui oleh UU.
Majelis hakim konstitusi menilai permohonan itu harus memperhatikan asas-asas perkawinan yang berlaku di Indonesia, tanpa menimbulkan polemik dengan pihak-pihak lain, karenanya pemohon diminta untuk melengkapi tuntutan itu dengan fokus pada masalah yang ingin diujikan.
"Pemohon bisa memperbaiki permohonannya, dan melihat apakah ini benar-benar menjadi kepentingan Anda, Anda juga harus merujuk pada salah satu hukum fiqih Islam tentang ketentuan poligami, apakah ini sunnah, wajib, atau mubah, "kata salah satu Hakim Konstitusi H. A Roestandi, di sela-sela persidangan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (10/5).
Menurut Roestandi, pemohon juga harus dapat menyampaikan legal standing (kedudukan hukum), sehingga permohonan pengujian UU dapat dilanjutkan.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi lainnya Maruarar Siahaan mengingatkan, agar masalah ini tidak menjadi porsi politik, pemohon harus dapat melengkapi alasan keberatan, misalnya yang pernah disampaikan kantor urusan agama ataupun isteri pertama, saat akan melakukan pencatatan perkawinan.
Di sela-sela persidangan, Maruarar sempat menyatakan kekaguman kepada pemohon yang berani secara terbuka mengajukan keinginannya.(novel)