Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukum Mati yang diajukan ketiga terpidana mati Amrozi Cs.
"Mahkamah berkesimpulan bahwa dalil-dalil pemohon mengenai baik mengenai pengujian formil maupun pengujian materiil tidak beralasan sehingga seluruhnya harus ditolak," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Mohammad Mahfud MD, dalam pembacaan putusan uji materi UU tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/10).
Melalui tim kuasa hukum, Amrozi Cs menganggap UU 2/Pnps/1964 tidak memenuhi syarat-syarat formil pembentukan undang-undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan Pasal 1, Pasal 14 ayat (3), dan ayat (4) UU 2/PNPS/1964 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 (uji materiil).
Menurut mereka, UU 2/Pnps/1964 merupakan undang-undang yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang bukan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden dan tidak dipilih melalui pemilihan umum.
Selain itu, menurut para terpidana mati Bom Bali tersebut, Pasal 1 UU 2/Pnps/1964, menentukan bahwa pidana mati dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan diterima oleh terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali tembakan” namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati. Dengan demikian, terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati.
Mengenai permohonan kuasa hukum tentang tatacara hukuman mati yang menimbulkan rasa sakit, Majelis hakim konstitusi menyatakan rasa sakit yang dialami terpidana mati adalah konsekuensi logis yang melekat dalam tata cara hukuman mati, maka tak termasuk kategori penyiksaan terhadap terpidana mati.
"Dari berbagai alternatif tatacara pidana mati selain ditembak, seperti digantung, dipenggal pada leher, disetrum listrik, dimasukkan dalam ruang gas dan disuntik mati, semuanya menimbulkan rasa sakit. Meski gradasi dan kecepatan kematiannya berbeda-beda," ujar Mahfud.
Ia menandaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam eksekusi, bahkan semuanya mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit.
Namun, hal itu bukan penyiksaan sebagaimana dimaksud pasal 28 I UUD 1945, sehingga UU nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer tidak bertentangan dengan UUD 1945. (novel)