Pro kontra mengenai keberdaaan lembaga sensor film yang dianggap pelaku perfilman mengekang kebebasan berekspresi akhirnya selesai. Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materiil terhadap pasal 1 angka 4 Bab V, pasal 33 ayat 1 sampai 7, pasal 34 ayat 1 sampai 3, pasal 40 ayat 1 sampai 3, dan pasal 41 ayat 1 huruf B UU No.8/1992 tentang Perfilman, mengenai ketentuan penyensoran bertentangan dengan pasal 28C ayat 1 dan pasal 28F UUD 1945.
Pemohon yang terdiri dari artis dan sutradara film itu, menilai selama ini tidak ada parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran dan LSF tidak pernah mendasarkan kerjanya pada PP No 7 Tahun 1994 tentang LSF dan Peraturan Menbudpar No PM/31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja LSF dan Tata Laksana Penyensoran.
Mereka menyatakan penyensoran yang dilakukan LSF dengan cara menolak secara utuh film karena alasan tematis atau meniadakan dengan cara memotong bagian-bagian berupa judul, tema, dialog, gambar, atau suara tertentu telah merugikan hak konstitusional pemohon selaku pelaku perfilman Indonesia.
Namun, Mahkamah konstitusi berkesimpulan bahwa UU Perfilman yang berlaku saat ini beserta dengan ketentuan tentang sensor dan lembaga sensor film dapat dipertahankan keberlakukannya, sepanjang dalam pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung demokrasi dan HAM.
"Dengan kata lain UU Perfilman a quo beserta semua ketentuan mengenai sensor yang dimuat didalamnya bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat), oleh karena itu keberadaan sensor dan lembaga sensor (LSF) yang tercantum dalam UU perfilman sepanjang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas tetap konstitusional, " jelas Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqqie dalam sidang putusan uji materiil UU Perfilman, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (30/4).
Jimly mengatakan, melihat berbagai alasan yang terkait dengan konteks kekinian yang berhubungan dengan semangat reformasi untuk membangun suatu masyarakat madani dengan mengurangi dominasi negara dan membangun prinsip keseimbangan antara peranan negara dan masyarakat. Maka Mahkamah berkesimpulan, sangat mendesak untuk dibentuk UU Perfilman yang baru, yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghromatan terhadap HAM,
namun untuk menghindari kekosongan hukum yang berakibat terjadinya ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perfilman itu dapat diberlakukan.
Di awal pembacaan putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan persoalan ini adalah persoalan serius. Sehingga tidak heran terjadi perdebatan sengit di antara para majelis hakim sebelum mengambil putusan.
"Ini perkara serius. Di majelis hakim, perdebatan juga serius, " ujar Jimly yang saat ini didampingi delapan anggota majelis lainnya antara lain I Dewa Gede Palguna, Moh. Mahfud MD, H A S Natabaya, H M Laica Marzuki.
Ia juga mengatakan putusan perkara ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia dalam menentukan sikap dan menjadi landasan hukum dalam dunia perfilman Indonesia ke depannya.
Dari sembilan hakim konstitusi, Hakim Konstitusi HM. Laica Marzuki menyampaikan pndapat berbeda (dessenting opinion) menyatakan bahwa penyensoran film yang yang dilakukan oleh Lembaga sensor Film (LSF) merupakan sensor preventif, yang dapat menghambat, bahkan meniadakan hasil karya cipta film.
"Pasal-pasal a quo jelas bertentangan dengan hak konstitusi par pemohon, sebagaimana termaktub dalam pasal 28 C ayat 1 UUD 1945, yakni hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, " jelasnya.
Sidang kali ini menarik perhatian banyak orang. Barisan kursi pengunjung sidang yang pada sidang-sidang sebelumnya terlihat sepi, namun di atas balkon tampak padat. Sekitar 40 orang dari ormas Front Pembela Islam (FPI) memenuhi deretan kursi tersebut, pada saat Majelis Hakim Konstitusi membacakan amar putusan yang menolak seluruhnya permohonan tersebut, serentak mereka bertakbir.(novel)