Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Keputusan majelis hakim konstitusi yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Jimly Asshiddiqie, dalam sidang putusan pengujian UU Penanaman Modal terhadap UUD 1945, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (25/3).
Pengajuan uji materi terhadap UU Penanaman Modal itu dilakukan dua pemohon, yakni pemohon pertama oleh 10 lembaga swadaya masyarakt, antara lain Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YDBS), dan Yayasan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi). Sedangkan, pemohon kedua adalahn Daipin dengan kuasa hukumnya, Patra M. Zen, dari YLBHI.
Majelis hakim menyatakan, Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus", Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka", bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 22 ayat (1) huruf a, menyebutkan, Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Kemudian, huruf b menyatakan, Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun.
Serta, huruf c, menyatakan bahwa hak pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun.
"Pasal 22 ayat (1), (2) dan (4) sepanjang menyangkut kata-kata di muka sekaligus UU Penanaman Modal, tidak mempunyai kekuatan hukum, " ujar Jimly.
Sedangkan Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal yang didalilkan pemohon inskonstitusional atau dianggap melanggar UUD harus dinyatakan ditolak.
"Dalil para pemohon tentang inskonstitusional ketentuan Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 21 UU Penanaman Modal adalah tidak beralasan, sehingga permohonan seluruhnya harus dinyatakan ditolak, " katanya.
Sebelumnya, para pemohon menyatakan bahwa UU Penanaman Modal menyediakan beragam ‘kemewahan’ demi mengundang investasi mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian izin hak guna usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan, dan di manapun hingga bebas dari masalah nasionalisasi.
"Sprit UU PM adalah keterbukaan yang besar-besarnya untuk mengundang investasi asing. Selain itu, UU ini hanya membuat Indonesia semakin menjadi sub ordinat, atau sekdar kepanjangan tangan kepentingan global bukan sebagai turunan stategi kepentingan nasional, untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi, " ujar Pakar Ekonomi ECONIT Hendri Saparini.
Menanggapi keputusan Mahkamah Kosntitusi, Kuasa Hukum dari 10 lembaga pemohon uji materi UU Penanaman Modal, Johnson Panjaitan, menyatakan kecewa dengan putusan MK, yang hanya mengabulkan sebagian uji materi UU tersebut.
"Majelis hakim hanya melihat dari sisi fisiknya saja dalam memutuskan UU Penanaman Modal, padahal filosofinya berkaitan dengan uang serta tidak melihat akan kondisi ke depan, " tegasnya.
Sementara itu, dari sembilan majelis hakim konstitusi dalam mengeluarkan putusan tersebut, dua di antaranya memiliki alasan berbeda (Concurring Opinion) dan pendapat berbeda (Dissenting Opinion), yakni HAS Natabaya dan Maruarar Siahaan.
Hakim konstitusi Maruarar Siahaan, dalam Dissenting Opinionnya menyatakan, perlakuan yang tidak sama, akan melahirkan ketidakadilan yang secara jelas bertentangan dengan konstitusi.(novel)