Apalagi, pada saat bersamaan, neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita posisinya juga tak bagus. Dalam periode Januari hingga Mei 2018, empat kali kita mengalami defisit neraca perdagangan. Pada Januari, kita mengalami defisit USD760 juta, Februari defisit USD50 juta, April defisit USD1,63 miliar, dan Mei kemarin, kita defisit USD1,52 miliar. Ini adalah rekor terburuk sejak 2013.
Pada saat bersamaan, pada kuartal I 2018, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga tercatat defisit USD3,8 miliar. Di periode yang sama, defisit transaksi berjalan (current acount deficit/CAD) juga mencapai USD5,5 miliar. Sebagai catatan, selama lebih dari satu dekade terakhir, NPI tercatat mengalami defisit itu hanya pernah terjadi pada tahun 2008, 2013 dan 2015. Dan hanya pada tahun 2013 yang nilainya mencapai USD7,32 miliar. Ini bukan kondisi yang menyenangkan.
Meski indikator perekonomian tidak menunjukkan gejala membaik, kita belum mendengar pemerintah menjelaskan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya krisis. Pemerintah malah sibuk menyiapkan pesta untuk menjamu IMF dan Bank Dunia di Bali.
“Sungguh ironis, saat kurs sedang meluncur ke kisaran Rp15 ribu, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi bisa jatuh di bawah angka 5%, defisit APBN menyentuh limit 3%, pemerintah Indonesia malah sibuk menyiapkan jamuan bagi 15 ribu orang yang memboroskan anggaran hingga Rp850 miliar itu. Di tengah jargon Revolusi Mental, sikap pemerintah semacam ini justru memperlihatkan mental seorang inlander.” (sn)