“Inilah poin yang kemarin diingatkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Pak Prabowo, soal bahayanya perekonomian yang ditopang oleh utang. Per 30 April 2018, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.180,61 triliun. Dari jumlah tersebut, 41% di antaranya berdenominasi valuta asing (valas), baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah.
Dengan komposisi utang valas yang demikian besar, maka pembayaran beban utang, baik cicilan jatuh tempo maupun bunga, tentunya terikat pula dengan mata uang asing. Ada tiga mata uang asing yang mendominasi utang kita, yaitu dolar AS, yen, dan euro. Sehingga dampak dari pelemahan rupiah terhadap sejumlah mata uang asing utama pasti akan menambah jumlah utang dalam rupiah dan menambah beban yang harus dipikul APBN.
“Dalam catatan saya, jika disetarakan, jumlah utang kita dalam bentuk valas ekuivalen dengan USD109,6 miliar. Sehingga setiap kali nilai tukar rupiah terdepresiasi Rp100, maka jumlah utang kita akan naik lebih dari Rp10 triliun. Semakin besar depresiasinya, jumlah nominal yang harus kita bayar juga menjadi semakin besar,” tukasnya.
Itu baru bab utang pemerintah, belum lagi jika kita membahas utang sektor publik secara keseluruhan yang hampir Rp9.000 triliun. Atau jika kita ikut memperhitungkan utang swasta yang per Februari 2018 sudah mencapai Rp2.351,7 triliun. Besar sekali risiko yang bisa kita terima akibat depresiasi nilai tukar ini. Pada saat krisis 1997/1998, kita banyak sekali kehilangan aset strategis gara-gara krisis utang ini.
Jadi, di tengah depresiasi rupiah yang terjadi terus-menerus, pemerintah tak lagi bisa berdalih jika utang Indonesia saat ini berada pada kondisi yang aman. Dalih itu membohongi diri sendiri. Apalagi kalau ada yang mengatakan penyesuaian normal, mesti orang itu benar-benar tidak bertanggung jawab. Jika nilai tukar rupiah sampai tembus lebih dari Rp14.500, saya kira kita harus kembali bersiap menghadapi krisis ekonomi. Malah sekarang ini bisa dikategorikan awal krisis.