eramuslim.com — Minyak goreng bersubsidi khususnya Minyakita kini semakin langka di pasaran.
Akibatnya, harga minyak goreng semakin jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Diketahui, HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kg.
Karena kelangkaan itu pula, membuat minyak goreng curah mengalami lonjakan harga yang cukup signifikan.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu mengatakan, dari awal ia yakin kebijakan pemerintah tidak akan berhasil jika terjadi disparitas harga yang berbeda terhadap komunitas yang sama. Apalagi kata dia jika terkait dengan harga internasional.
Menurutnya, harga minyak goreng yang tidak diatur itu pasti mengikuti harga internasional. Sedangkan harga yang diatur pasti tidak mengikuti harga internasional.
“Komunitas minyak goreng ini bisa diekspor. Jadi kalau terjadi murah harganya, maka pasti sangat susah mengawasi di pasar,” ucapnya dalam kanal YouTube MSD, Selasa, (7/2/2023).
Dia mencontohkan dua orang pembeli goreng yang lebih murah. Pemerintah akan sulit mengawasi bagaimana agar pembeli tersebut tidak melakukan ekspor.
Lebih lanjut Said Didu mengibaratkan dirinya pemilik pabrik minyak goreng yang yang memproduksi minyak goreng subsidi dan non subsidi.
Ketika harga internasional mahal maka secara otomatis sebagai produsen, produksi minyak subsidi dikurangi dan memilih memproduksi yang akan diekspor. Secara otomatis ini akan membuat minyak subsidi langka di pasaran dalam negeri.
“Ada nggak yang menjaga pabrik saya 24 jam? Nggak ada. Apa bedanya Minyakita dengan minyak lain, nggak ada bedanya,” tambah Said Didu.
Kedua lanjut pria kelahiran Sulsel ini, kebijakan bias terhadap CPO yang mendapatkan fasilitas begitu banyak khususnya untuk bahan baku biodiesel subsidinya sangat besar.
Dengan harga solar subsidi Rp6.800 per liter, Said Didu memperkirakan subsidinya di angka Rp3000-4.000 per liter.
Dia juga menyinggung soal Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit yang disebutnya untuk memungut uang petani untuk mensubsidi biodiesel.
“Kenapa bukan itu juga yang digunakan untuk mensubsidi minyak goreng. Kenapa minyak goreng tidak lakukan hal yang sama. Kelihatannya karena saya paham pemilik biodiesel ini sebagian besar adalah bagian oligarki, sehingga dia kuat sekali. Pabrik minyak goreng itu hanya 5 yang besar, yang lain itu pabrik kecil,” jelasnya.
Dia menyarankan agar subsidi minyak goreng diserahkan kepada pabrik kecil. Karena kapasitas produksi minyak goreng besar sekali, dua kali lipat dari kebutuhan dalam negeri.
Menurutnya lagi, kelangkaan bukan karena kapasitas produksi tapi karena betul-betul masalah harga.
Said Didu menyindir Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang sibuk cari pencitraan.
“Jadi saya hanya kasihan menteri perdagangan baru, berakrobat dengan foto-foto padahal bukan itu masalahnya. Masalah minyak goreng adalah terjadinya disparitas harga terhadap produk dan terbaginya disparitas harga terhadap bahan baku dengan biodiesel,” tambahnya.
Said Didu yakin, dengan kebijakan pemerintah saat ini, maka masalah kelangkaan minyak goreng akan terus terulang.
Bahkan dampaknya bisa dinikmati oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. (sumber: fajar)