Minta Agar Bisa Hidup di Indonesia Tanpa Beragama, Warga Jakarta Gugat Aturan ke MK

eramuslim.com – Warga Cipayung, Jakarta Timur, Raymond Kamil mengajukan uji materi terhadap pasal di sejumlah undang-undang dari mulai UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) hingga UU Hak Asasi Manusia (HAM) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Raymond yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan menyatakan telah mengalami kerugian konstitusional.

“Bahwa hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya Undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata,” ujar Teguh Sugiharto selalu kuasa hukum pemohon dalam sidang yang berlangsung Senin, 21 Oktober 2024.

Perkara tersebut teregister dengan nomor: 146/PUU-XXII/2024. Pemohon atas nama Raymond Kamil dan Indra Syahputra. Perkara ini diperiksa dan diadili ketua majelis panel Arsul Sani dengan anggota Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.

Sejumlah pasal dimaksud terdiri dari Pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Pemerintah, menurut pemohon, mengatakan aparatur pemerintah memahami kebebasan beragama hanya dalam makna positif yang dibatasi sebagai kebebasan memilih salah satu di antara tujuh pilihan yang disediakan dalam kolom KTP dan KK.

Dampaknya, kebebasan dalam makna negatif yaitu tidak beragama dan selain satu dari pilihan yang ada tidak mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan atau setidaknya terjadi kekaburan.

Kemudian pemohon menguji Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 tentang Adminduk. Pemerintah dinilai hanya memberikan pilihan isian kolom agama pada KTP dan KK terbatas hanya pada enam agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut pemohon, secara substansial hal tersebut menyalahi pendapat MK dalam putusan nomor: 140/PUU-VII/2009 yang mengamanatkan negara harus mengakui dan melindungi seluruh agama yang dipeluk rakyat Indonesia dan ada di Indonesia.

“Maka, para pemohon dan seluruh penduduk yang pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” ucap Teguh menjelaskan permohonan kliennya itu.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) UU 1/ 1974 tentang Perkawinan. Karena pemohon tidak memeluk agama dan kepercayaan, maka hilang pula hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah yang digantungkan secara bersyarat pada pelaksanaan ritual agama, ritual perkawinan menurut ketentuan agama.

Pemohon juga menguji Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di mana anak-anak pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan tetap diwajibkan mengikuti mata pelajaran agama.

“Dan nantinya, ini anak pemohon I (Raymond Kamil) masih belum kuliah. Ketika mahasiswa maka diwajibkan mengikuti mata kuliah pendidikan agama. Maka, hal dimaksudkan adalah pemaksaan oleh negara yang bertentangan dengan hak memilih pendidikan,”kata Teguh.

Selanjutnya pemohon mempermasalahkan Pasal 302 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP. Karena tidak memeluk agama dan kepercayaan, pemohon menilai sangat berpotensi terjadi persangkaan melakukan tindak pidana saat mengemukakan pendapat tanpa usur melawan hukum sedikit pun di muka umum.

Hakim konstitusi Arief Hidayat mengingatkan pemohon mengenai sila pertama Pancasila. Negara, terang Arief, telah membebaskan warga untuk menganut agama dan kepercayaan apa pun.

“Mahkamah itu The Guardian of The Constitution (Penjaga Konstitusi) sekaligus karena yang dijaga adalah pembukaan Undang-undang Dasar dan pasal-pasal, maka saya juga mengatakan Mahkamah itu sebagai The Guardian of State Ideology (Penjaga Ideologi Bangsa). Lah, di dalam ideologi bangsa, yang sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” ucap Arief.

“Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu mempunyai konsekuensi bahwa bangsa ini, baik dalam kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, atau individu yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus bertuhan. Nah, penyelenggaraan bertuhannya diserahkan pada masing-masing warga negaranya.”

“Bisa beragama, di dalam putusan Mahkamah juga silakan kalau mau berkepercayaan. Jadi, tidak ada pengertian yang negatif, tidak boleh, atau tidak diperbolehkan tidak beragama atau tidak percaya pada Tuhan. Tapi, Anda meminta … intinya meminta ada pengertian yang negatif, berarti boleh tidak beragama atau tidak berkepercayaan. Nah, itu yang menurut saya dari sisi prinsip itu, itu sudah ada hal yang harus diklirkan ya.”

Sementara itu, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan kedudukan hukum pemohon. Enny mengatakan belum bisa memahami penjelasan mengenai kerugian konstitusional pemohon.

“Ini kedudukan hukum kan sebetulnya dua-dua pemohon ini, I dan II, intinya adalah sebagai orang yang tidak memeluk agama atau kepercayaan apa pun. Intinya kan begitu, dua-duanya, ya. Kemudian, itu yang kemudian minta supaya MK memberikan ruang bagi yang tidak memeluk agama dan kepercayaan apa pun,” tutur Enny.

“Nah, bagaimana kemudian ruang itu bisa diberikan oleh MK kalau Anda tidak kemudian bisa menjelaskan? Pertama adalah menyangkut apa sih sebetulnya kerugian hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-undang Dasar. Saya cari-cari enggak ada nih, haknya yang diberikan oleh Undang-undang Dasar itu apa? Hak itu dulu yang harus ditegaskan. Hak yang diberikan oleh Undang-undang Dasar itu apa?” lanjut dia.

“Di situ saudara jelaskan, apakah hak itu ada di dalam Pasal 29 misalnya, atau di dalam pasal yang lain, silakan Anda tegaskan dulu hak itu apa. Setelah itu, kemudian saudara jelaskan apakah memang hak tersebut dirugikan oleh berlakunya norma yang dimohonkan pengujian? Silakan nanti ditegaskan mana norma yang memang sangat krusial di antara lima Undang-undang ini. Kalau sekaligus ini, borongan, ya, rada susah menurut saya nanti,” sambungnya lagi.

 

(Sumber: Cnnindonesia)

Beri Komentar