Eramuslim.com – Seolah tidak risih dengan sorotan banyak orang Ponpes Al-Zaytun kembali memasang foto kegiatan shalat Idul Adha dimana jamaah pria dan wanita berdiri sejajar tanpa sekat.
Dalam sebuah unggahan terbaru, akun Instagram Kepanitiaan Al-Zaytun kembali memasang foto kegiatan shalat Idul Adha. Sebanyak 10 foto yang diunggah, 4 di antaranya nampak kegiatan ibadah sholat Id dengan imam AR Panji Gumilang.
“Perayaan Ied Al-Adha 1444 H / 2023 M di Al-Zaytun,” demikian tulis akun @kepanitiaanalzaytun.
Unggahan terbaru ini kontan mendapat kecaman dari warganet. “ di TV alasannya foto lama saat pandemi. Eeh sekarang post foto terbaru begini juga. emang niat cari huru hara buat pengalihan tahun Pilpres, “ demikian tulis seorang warganet menanggapi unggahan itu.
“Tolol, bikin agama baru aja, solat aja udh gak bener,” tulia @bukaksxxx_
“Wow seperti ini ya sholat ied madzhab soekarno, ” tulis @Abhasi….
Sementara itu, seorang yang diduga pengikut Al-Zaytun membela diri, bahwa meskipun penduduk Indonesia ribut menanggapi Al-Zaytun, ia mengklaim yang mendaftar akan tetap banyak.
“Netizen, rakyat Indonesia, lu mau tau g, lg rame-rame begini, Zaytun yg daftar malah makin banyak, biasa 700 skrng udah 1 ribu, gara-gara viral, keren nih Al-Zaytun, semoga semua umat Indonesia pada bisa masuk Zaytun y Amiin, Otak-Otak Engkau kecuci semua Akal Sehat Broo,” tulis @04rhmxxxWehhh
Pandangan MUI
Belum lama ini, foto serupa juga pernah diunggah Ponpes Al-Zaytun. Saat itu, akun @kepanitiaanalzaytun yang diunggah pada Sabtu,(22/4/2023), terlihat bahwa pelaksanaan sholat Id dilaksanakan dengan shaf yang berjarak antarsatu sama lain.
Selain itu, yang paling menonjol dalam postingan tersebut adalah sosok perempuan yang turut melaksanakan shalat pada shaf terdepan yang bercampur dengan shaf laki-laki.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sempat menanggapi unggahan foto tata cara shalat Idul Fitri ala Ponpes Al-Zaytun yang berbeda dengan tata cara sholat pada umumnya. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr Marsudi Syuhud menjelaskan shalat tersebut tetap sah, akan tetapi hukumnya makruh.
“Menanggapi sah atau tidak sah nya shalat tersebut, jumhur fuqaha menjelaskan campur atau barengnya shalat laki-laki dan perempuan urusan sah dan tidak sah nya tetap sah. Tetapi walaupun sah, sholat tersebut makruh,” ujar Kiai Marsudi (28/4/2023).
Dia menjelaskan bahwa makruh sendiri merupakan sesuatu yang tidak disenangi Allah SWT. Mengenai tata cara beribadah sebagai bentuk untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT telah diatur sejak dulu.
Bahkan hal-hal tersebut telah diajarkan sejak zaman para nabi, bahwa beribadah kepada Allah SWTmemiliki aturan-aturan dan hukum-hukum tertentu. Selain aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan, terdapat poin penting yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan segala macam ibadah, yaitu adab.
Menurut Marsudi beribadah kepada Allah tidak hanya sekedar ‘sah’ saja, akan tetapi harus memperhatikan adab-adab kesopanan yang sebenarnya telah diajarkan pula oleh para ulama-ulama terdahulu, bahkan sejak di zaman para nabi.
“Ketika kita beribadah, sudah ada aturan bakunya, hukum-hukumnya. Bagaimana melaksanakan shalat sendiri dan bagaimana melakukan shalat berjamaah antara laki-laki dan perempuan.
Maka diutamakan, bagaimana kita hidup di dunia agar tetap mengedepankan adab. Hidup untuk mendekatkan ibadah mahdoh hanya kepada Allah SWT juga membutuhkan adab, tidak cukup hanya sah dan tidak sah.
Dalam wawancara tersbut, Kiai Marsudi juga mengutip sebuah hadit dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda, “Shaf yang terbaik bagi laki-laki adalah shaf terdepan, dam shaf terburuk mereka dalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi kaum perempuan adalah shaf yang terakhir dan yang paling buruk adalah bagi mereka adalah shaf terdepan.”
“Keutamaan shalat perempuan di akhir baris atau shaf nya di belakang, imam an nawawi menjelaskan untuk menjauhkan antara penglihatannya laki-laki, geraknya seorang laki-laki dan pendengaran percakapannya,” ungkap Dr Marsudi.
Karena itu ia berharap lembaga-lembaga pendidikan dapat dipelajari referensi kitab-kitab, karena di pesantren mengajarkan bagaimana cara beribadah, bagaimana adabnya dan bagaimana tata caranya. “Jadi tidak cukup hanya masalah sah dan tidak sah,” kata dia.
(Hidayatullah)