Mereka Tak Kenal Habib Rizieq Shihab, Sebuah Catatan dari Mega Mendung

Tak heran ketika akhirnya tiba di depan kompleks pesantren, hati ini masih belum percaya apakah saya akan betul-betul berjumpa dengan Habib Rizieq Shihab atau HRS? Apakah betul HRS mau menerima kami yang bukan siapa-siapa ini? Bahkan saat salat Ashar di masjid pondok, doa saya hanya satu, “Ya Allah, jangan batalkan pertemuan ini.”

Sebab, jika melihat situasi dan kondisi, sangat wajar pihak tuan rumah membatalkan pertemuan. Demi keamanan semua pihak.

Seusai salat kami yang perempuan (berdua) dipersilahkan menunggu di pendopo, terpisah dari rekan-rekan kami yang laki-laki.

Ternyata dari bangunan dekat pendopolah sosok yang kami tunggu muncul. Dalam hati bersyukur, ya Allah terima kasih akhirnya saya bisa melihatnya dari dekat.

Berbaju putih bersih, memegang tongkat. Terdengar beliau bertanya, “Mau ngobrol di mana? Kalau tidak cukup di bawah kita di atas saja.”

Akhirnya, kami naik ke lantai paling atas dari salah satu bangunan di pondok, yang dari tempat itu keindahan kawasan Gunung Gede terlihat jelas.

Bahkan Munarman juga berseloroh, ‘Hambalang juga terlihat dari sini lho’, seraya menunjuk kawasan perbukitan nun jauh di sana. Kami semua pun tertawa, tawa yang penuh makna tentu saja.

Ketika acara mau dimulai, HRS yang didampingi Ahmad Sobri Lubis dan Habib Hanif meminta agar posisi duduk mendekatinya. Layaknya sebuah pertemuan mirip halaqah yang sering dijumpai di Masjidil Haram.

Itulah kali pertama saya melihat wajah HRS dari dekat, walau memakai masker. Bahkan, sangat dekat. Satu kata, “Wajahnya amat sangat teduh.”

Tidak ada raut gusar apalagi takut. Tenang dan sungguh menenangkan. Tak terasa mata ini pun basah karena akhirnya bisa melihatnya tanpa sekat.

Saya lihat rekan-rekan saya yang lain begitu antusian dengan pertemuan itu. Sungguh kami merasakan keharuan yang sama.

Sebagai kalimat pembuka setelah salam, HRS meminta maaf kalau penyambutan yang agak ketat karena harus mengikuti protokol kesehatan.