“Cuma saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia,” tegas Rizal kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Namun terlambat, keesokan harinya Presiden Soeharto meneken perjanjian dengan IMF. Bos IMF Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sementara Soeharto membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI). Inilah momen kekalahan Indonesia oleh IMF.
Kekhawatiran Rizal soal IMF bukan tanpa alasan. Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam. Benar saja, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk.
“Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Banyak perusahaan langsung bangkrut,” kata Rizal.
Saran IMF untuk menutup 16 bank juga menuai polemik. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia. Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank.
Dari sini pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. Inilah awal mula kasus korupsi megatriliunan yang belum tuntas di Indonesia.
Namun yang paling parah, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Akhirnya pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74 persen. Hal ini menurut Rizal yang memantik kerusuhan besar-besaran di Indonesia.
“Besoknya demonstrasi besar-besaran. Kerusuhan di mana-mana, ribuan orang meninggal. Rupiah anjlok,” kata Rizal.
Butuh bertahun-tahun hingga Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi itu. Rizal membandingkan sikap Malaysia yang menolak IMF dan mengeluarkan kebijakan ketat soal moneter. Hasilnya mereka dengan mudah keluar dari krisis.