Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono khawatir hakim peradilan umum tidak mempertimbangkan kepentingan militer dalam penyelenggaraan pertahanan negara secara tepat di pengadilan. Hakim peradilan umum tidak dibekali pengetahuan tentang kekhususan tugas-tugas pertahanan negara. Karena itu harus tegas apakah diadili secara militer atau sipil.
Demikian ditegaskan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam Raker dengan Panitia Khusus RUU Peradilan Militer di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Rabu (20/9).
Ia menambahkan, hakim peradilan umum tidak berwenang menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer bagi seorang prajurit yang melakukan tindak pidana umum, sekalipun tindakan tersebut termasuk pidana berat.
"Hal ini disebabkan karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur hal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah meminta agar pembahasan RUU Peradilan militer mendapat porsi waktu yang lebih memadai. Hal itu memberi kesempatan kepada pemerintah untuk mengkaji permasalahan militer yang dihadapi,” papar Menhan.
Menurutnya, pemerintah berpendapat masalah yang dihadapi sangat kompleks dan rumit, sehingga memerlukan pengkajian mendalam dan komperehensif. Karena itu jika ada seorang tentara yang desersi, kemudian dalam masa tersebut tentara yang bersangkutan melakukan tindak pidana, maka akan memerlukan waktu lama untuk memprosesnya.
Alasannya, jelas dia, karena perkara desersinya ditangani oleh peradilan militer dan pidana umumnya ditangani oleh peradilan umum. Akibatnya selain lama dan kompleks, hal ini menyimpang dari azas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan.
Sementara itu, Arbab Paproeka (FPAN) mengusulkan adanya pengelompokkan tindak pidana mana yang bisa diajukan ke peradilan sipil atau militer. Terhadap tentara yang yang melakukan pidana militer, maka diadili oleh militer, sedangkan jika sipil maka melalui peradilan sipil. (dina)