Oleh Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah–DPP HTI)
Tiga buah bom meledak dalam waktu berdekatan Rabu (15/3) kemarin. Satu di kantor Radio 68H, satu untuk BNN dan satu lagi untuk tokoh ormas kepemudaan. Karena target peledakan ini beragam, maka spekulasi apa sebenarnya yang menjadi target dari aksi paket bom tersebut menjadi tidak mudah untuk menjawabnya.
Sebelum masuk pada beberapa analisa, perlu melihat konteks saat ini dimana paket bom itu nongol. Penguasa tengah kelimpungan menghadapi hak angket pajak oleh DPR, yang ini juga mengancam perpecahan koalisi yang sudah dibangun. Meski konon tidak bakal terjadi reshuffle kabinet, tapi kondisi setgab justru tengah memanas karena ada upaya mendongkel pengurus setgab.
Pemerintahan SBY juga sudah dibuat panik dengan bocoran kawat diplomatik dari kedubes AS yang ditebar Wikileaks. Tudingan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan memperkaya diri yang dilansir 2 harian Australia dari Wikileaks sempat membuat sejumlah pejabat sibuk melakukan bantahan dimana-mana. Karena sebagian pihak melihat apa yang dibocorkan Wikileaks adalah hanya seperti puncak gunung es-nya, artinya ada yang lebih besar dan dasyat dari itu semua.
Untuk kalangan oposisi sendiri cenderung untuk percaya kepada pemberitaan tersebut. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum (FH) UGM Zainal Arifin Muchtar, meminta pemerintah SBY menyodorkan bukti bila tudingan Wikileaks itu tidak benar. (detiknews.com, 14/3)
Kredibilitas pemerintah di mata rakyat dan pengamat juga terus merosot. Selain kasus hukum kelas kakap yang tidak selesai —mafia pajak, mafia hukum, Bank Century—, ditambah lagi rencana kenaikan BBM non-subsidi. Membuat rakyat semakin sengsara dan tidak percaya lagi atas keberpihakan penguasa kepada mereka.
Terkait isu terorisme dan persidangan Ustad ABB terakhir, ada kejadian menarik dengan munculnya pengakuan ‘taubat’ ustad Khairul Ghazali dari balik jeruji besi di Polda Sumut. Sebuah pertaubatan yang menampar pihak aparat (khususnya Densus88), dan menyebabkan Densus88 ‘mengamuk’ untuk memberikan stick kepada K. Ghazali cs di tahanan Polda Sumut. Tuduhan-tuduhan terhadap ustadz ABB makin terlihat sumir, karena dari pengakuan K. Ghazali mengungkap betapa jahatnya rekayasa untuk mengkuyo-kuyo ustad ABB. (lihat di arrahmah.com, yang rencana mau dibuat K Ghazali akhir Februari dan tertunda, akhirnya baru awal Maret dirilis). Tentu ini menjadi ancaman dari sebuah proyek prestisius dari WOT (War on Terrorism) dengan target-target derivatnya.
Dari titik ini, kita mencoba membuka sebuah prespektif. Tidak berlebihan jika sebagian kalangan berpikir, jangan-jangan kasus bom ini adalah pengalih isu, atau setidaknya bisa dimanfaatkan sebagai pengalih isu. Atau memang ada ‘hidden target’ itu masih terkait isu terorisme? Disini kita coba mengurai beberapa spekulasi dan menguji kelogisannya, tentang siapa pelaku dan apa motifnya dengan catatan sekalipun sering kali satu operasi itu tidak selaras dengan logika linear konspiratif.
Pertama, sasaran bom itu dengan target personal dan beragam orangnya. Bukan saja untuk Ulil, tapi juga untuk pimpinan BNN Gories Mere, dan Japto selaku aktifis kepemudaan. Kalau anggapan pelakunya adalah kelompok ‘teroris’ dan mengalami pergeseran strategi dan target sasaran. Namun tetap perlu di kritisi, mungkin orang bisa berdalih bahwa Gories Mere berada di belakang operasi ‘War on Terrorism’ sehingga menjadi target sasaran sasaran pemboman, tapi bukankah bom itu dikirim ke BNN yang menangani narkoba? Mengapa bukan ke rumahnya atau ke markas Densus88? Begitu juga untuk Ulil yang dianggap menjadi penggiat liberalisme, paket bomnya dikirim ke kantor radio FM68H, dan pola seperti ini sangat berpeluang besar akan meleset dari target sasaran, bahkan menjadi random. Lalu bagaimana dengan Yapto? Apa relevansinya ia dengan benturan pemikiran Islam ‘garis keras’?
Muncul keganjilan, berita bom yang ditujukan untuk tokoh JIL, Ulil Abshar Abdalla, kemudian justru lebih banyak mengisi porsi pemberitaan media massa ketimbang dua bom lainnya. Entah karena unsur jurnalisme-nya, ‘name makes news’, atau karena bernafsu untuk men-drive opini publik tentang target bom tersebut. Stasiun televisi TVOne, misalnya langsung mengundang ‘godfather’ WOT, Hendropriyono untuk mengomentari kasus bom buku. Kesimpulannya; kelompok militan Islam di balik semua ini.
BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, lewat lisan Ansyad Mbai juga setali tiga uang. Demikian pula kolega Ulil seperti Usman Hamid. Yang lucu, Partai Demokrat Jafar Hafshah juga ikutan berkomentar kalau aksi ini didalangi oleh terorisme, bukan karena status Ulil sebagai kader Partai Demokrat.
Menariknya lagi, di tengah maraknya tudingan terhadap kelompok Islam ‘garis keras’ sebagai pelaku oleh sejumlah pihak —di antaranya oleh BNPT, Hendropriyono, dan pengurus Parpol Demokrat— Kapolda Metro Jaya justru tidak sependapat. Inspektur Jendral Sutarman, selaku Kapolda, justru keberatan bila ledakan ini dikaitkan dengan terorisme. Menurutnya terlalu sumir untuk menyimpulkan motif dan pelakunya. (vivanews.com, 15/3)
Demikian pula psikolog forensik Reza Indragiri Amriel tidak sependapat dengan tudingan terorisme. Ia melihatnya sebagai aksi vandalisme karena beberapa alasan. (detiknews.com, 17/3)
Di antara alasannya ialah, bomnya low explosive, rakitannya sederhana dan bukan bunuh diri seperti yang lalu-lalu. Dan disini ada yang aneh bin ajaib, orang seperti Hendropriyono dan penggiat kontra-terrorisme lainya lebih latah untuk berpropaganda dibandingkan membuka argumentasi yang dilandasi bukti. Yang terjadi sebaliknya, sebuah vonis yang tendensius sekali. Dan lebih tepat di labeli cara berpikir yang sudah ‘katarak’ dan ‘paranoid’.
Kedua, bila 3 bom dianggap manifestasi benturan Islam ‘garis keras’ dan kaum liberal, ini adalah ‘lebay’. Kenyataannya Ulil sudah lama tidak terdengar kelimat nyinyirnya menyuarakan pemikiran liberal, yang terlihat sekrang dia lebih suka memilih menunggangi partai berkuasa dan mempengaruhi politik kebijakan untuk memuluskan agenda-agenda kebencianya terhadap opini syariat. Maka jika benar ditujukan untuk Ulil karena ke-liberalan-nya, mengapa tidak sedari dulu ia diteror? Seperti pengakuannya kepada sejumlah wartawan, ia tidak pernah mendapatkan ancaman fisik ketika masih menjadi koordinator JIL. Padahal dulu Forum Ulama Umat Islam (FUUI) pernah menyatakan darahnya sudah halal. Justru saat ia berada di sebuah parpol yang kebetulan jadi parpol penguasa, ini terjadi. Jadi ekspos posisi Ulil secara tidak proporsional, tidak lebih adalah rekayasa untuk membangun eksistensi kelompok liberal dan seluruh jaringanya dengan drama seolah-olah ‘terdzalimi’. Jika itu massif tentu bisa memberikan efek domino kepada isu-isu lainya terkait radikalisme dan terorisme.
Ketiga, pola standart operasi terorisme internasional, biasanya cara mereka mengeksekusi target yang bersifat personal, bukan massa atau lembaga maupun gedung, adalah langsung menyerangnya secara individual, misalnya dengan menembak langsung, baik dari jarak dekat atau dengan sniper, menikam, atau bom bunuh diri atau dengan bom berpengendali jarak jauh, atau meracuninya seperti yang dialami Munir atau mantan intelijen Rusia yang masuk Islam Levitnenko. Mengirimkan paket bom ke kantor dengan sasaran personal, tidaklah lazim karena kemungkinan melesetnya amat besar. Kasus 3 bom yang dikirim ke rumah atau ke kantor seperti yang terjadi beberapa hari lalu, jauh dari sasaran personal. Bom-bom itu lebih bersifat mengacaukan keamanan belaka, karena toh ternyata low explosive. Dan yang menarik, paket pos dan semacamnya sudah biasa masuk ke ‘Utan Kayu’ namun kenapa untuk kali ini paket bisa diduga Bom dan ada kecurigaan berisi bom?
Keempat, ada tanda-tanda ngototnya pihak tertentu untuk membawa kasus paket bom ini kepada espektasi lebih jauh tentang terorisme dan ancamannya terhadap NKRI dan semacamnya, maka makin menimbulkan ‘curiga’. Cara pandang yang ‘katarak’ ini menjelaskan adanya jejak konspirasi dan motifnya. Dugaanya kalaulah benar yang melakukan kelompok ‘teroris’ maka itu ‘teroris binaan’ dari pihak-pihak tertentu yang selama ini tau peta dan punya akses kendali dikalangan mereka. Karena faktanya banyak para ‘combatan’ yang sudah dilebur dalam cawan proyek kontra-terorisme, dengan kompensasi ‘fasilitas’ dan ‘reward’ lainya. Strategi operasional lapangan bagaimana eksekusinya, yaitu dengan menggunakan variable yang mendukung: adanya judul buku yang menarik, sasaran yang relevan (khususnya Ulil dan Gories), dan ada kasus persidangan ustad ABB dimana saat itu sudah ada warming tentang ancaman untuk orang-orang tertentu (termasuk untuk Gories). Dan teknik deception (pengelabuhan) juga disiapkan, dengan membuat paket bom 3 buah yang satu untuk seorang Yapto.
Tidak aneh kalau paket bom ini divonis sebagai produk intelijen dan tidak menutup peluang, seperti kata pepatah, serangan bom ini adalah sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Mengalihkan perhatian publik dan politisi, mengundang simpati kepada kelompok liberal yang pro Ahmadiyah, juga menyudutkan kelompok Islam pro-syariah. Atau terkait dengan kontinuitas proyek WOT beserta target dibaliknya. Karena saat ini juga proses sidang ustad ABB terkait isu terorisme terancam terbuka kedok konspirasinya pasca pengakuan taubat Khairul Ghazali di balik jeruji besi Polda Sumut. Maka siapa yang bisa menampik kalau kasus paket bom itu spekulasinya adalah untuk meneguhkan tentang bahayanya terorisme dan cerita eksistensinya masih perlu di tangani. Baik dengan di eksekusi para tokoh inspiratornya atau para pengikutnya.
Ala kulli hal, saat ini kasus paket bom cukup menjadi obat penenang dari kegelisahan status quo. Karena banyak masalah yang cukup memusingkan, dan dengan adanya paket bom bak obat gelisah karena isu yang memusingnkan dari reshuffle sampai Wikileaks tidak lagi bertiup kearahnya, ada pergeseran arah ‘angin’ bertiup. Tapi bukan tidak mungkin, nanti kondisi akan berbalik. Belajar dari kasus Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, publik dan pengamat juga Komnas HAM justru percaya dan bisa membuktikan ada unsur rekayasa di sana. Boleh saja musuh-musuh Islam membuat aneka makar, toh Allah tetap pembuat makar yang terbaik.
“maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari,” (QS. An-Nahl [16] : 45).
Wallahu a’lam bisshowab.