Penolakan terhadap rencana pengesahan RUU tentang Pornografi itu sebagai akibat belum pahamnya masyarakat tersebut dengan bahaya pornografi yang sedemikian ganas mengancam keberlangsungan generasi muda di tanah air. Seperti diketahui, penolakan terhadap pengesahan RUU Pornografi di Bali diwarnai dengan aksi demonstrasi.
“Mereka menolak karena mereka belum membaca, coba sekarang siapa yang setuju anak menjadi korban pornografi, secara sederhana kita akan takut ketika anak kita keluar rumah karena takut diperkosa. Itu sebagai akibat melihat materi pornografi, bukan hanya orang tua, tapi nenek dan kakek juga takut cucu umur tiga tahun diperkosa, ini yang kita jaga, ” kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Meutia Hatta Swasono, di sela-sela Acara Uji Publik RUU tentang Pornografi, di Jakarta, Rabu sore.
Menurutnya, perlindungan kepada masyarakat dan generasi muda menjadi tujuan utama pembuatan RUU ini, karena berdasarkan data yang yang diterimanya penyebaran materi bermuatan pornografi sudah begitu marak dan sangat mengkhawatirkan bagi pembinaan akhlaq masyarakat. Seperti data yang disampaikan oleh Gerakan Jangan Bugil di depan Kamera menyabutkan bahwa dari 500 keping video porno yang beredar di tengah masyarakat 90 persen aktornya dan aktrisnya orang Indonesia asli.
“Sehingga dapat disimpulkan bahwa video yang beredar bukan bajakan melainkan diproduksi di Indonesia sendiri, ” ujar Meuthia.
Lebih lanjut Ia mengatakan, Kalau ada orang Indonesia yang mengatakan tidak setuju dengan RUU ini, perlu dipertanyakan akan membela siapa dia. “Ini bangsa kita harus dijaga, kami ini yang terdepan menjaga dari dampak pornograf, ” tandasnya.
Dalam kesempatan itu, Meuthia menyatakan, bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk memberikan masukan dalam proses uji publik sebelum disahkan, meskipun RUU yang tadinya bernama RUU APP ini sudah berkali-kali direvisi, hingga berubah nama menjadi RUU ‘P’.
“Saya berharap masyarakat harus fair membaca RUU itu sudah diberikan, mereka harus mengakui bahwa RUU APP dengan yang sekarang RUU P sudah jauh berbeda, ” imbuhnya.
Sementara itu, mengenai rencana pengesahan RUU Pornografi pada 23 September, Anggota Pansus dari FPAN Azlaini Agus mengaku, terkejut dengan berbagai pemberitaan media, meski memang jadwal itu telah diagendakan sebelumnya, akan tetapi RUU itu masih harus melalui beberapa tahapan lagi.
“Biarlah seperti air yang mengalir, setelah uji publik, dibahas oleh panitia kerja (Panja) beberapa kali, panitia khusus (Pansus), kemudian baru paripurna. Jadi gak mungkin tanggal 23, ya kan kita sudah menggiringnya, tapi belum bisa sampai muara, ” pungkasnya. (novel)