Imperialisme dengan cara dominasi ilmu pengetahuan dan model pembangunan, dengan perwujudan akhirnya berupa globalisasi-neoliberalisme, masih harus tetap diwaspadai meskipun Indonesia telah merdeka selama 62 tahun. Hal tersebut diungkapkan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni dalam pembukaan Pertemuan Besar umat Beragama dalam peringatan satu abad Kebangkitan Nasional, di Hotel The Sultan, Jakarta, Rabu(21/5).
"Ini yang sedang kita hadapi sekarang. Salah satu bentuk negatif globalisasi berupa transformasi kolonialisme-imperialisme itu diperankan oleh aktor utama adalah beberapa negara maju, " ujarnya.
Menurut Menag, apabila potensi yang ada umat tidak dikembangkan secara optimal, maka aktor-aktor yang berasal dari negara maju itu akan mengambil keuntungan dari sumber daya alam yang dimiliki oleh negara miskin dan berkembang, seperti Indonesia.
Menag mengakui, perkembangan sains dan tekhnologi telah menyebabkan hilangnya nilai-nilai spritual pada sebagian masyarakat, padahal keimanan dan ketakwaan merupakan salah satu modal dasar memperbaiki bangsa dari keterpurukan ekonomi dan degradasi moral.
"Sangat disayangkan implementasi dari keimanan dan ketakwaan tersebut belum begitu banyak terlihat diberbagai kehidupan, untuk memperbaiki keadaan ini, penguatan pendidikan agama, merupakan cara yang paling tepat, " tandasnya.
Selain itu itu, lanjut Maftuh, agama harus menjadi pilar yang kuat untuk menghindari pengaruh globalisasi yang berasal dari luar. Salah satunya melalui konsep ‘Ukhuwah’, yang dapat mempererat persatuan dan kesatuan.
"Dalam perspektif agama, ikatan terbaik yang dapat memperkuat kesatuan dan persatuan adalah adanya rasa ukhuwah (persaudaraan sejati), baik yang menyangkut ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathoniyah (persaudaraan se-tanah air), " jelasnya.
Ia menambahkan, eratnya tali ukhuwah yang dibangun pada zaman Rasulullah SAW melalui piagam Madinah, dapat menjadi contoh nyata keberhasilan pemimpin dalam membangun suatu bangsa yang berbeda-beda agama.(novel)