Jakarta berpendapat bahwa perairan tersebut adalah milik Indonesia di bawah ketentuan zona ekonomi eksklusif UNCLOS berdasarkan kepemilikannya di Natuna.
Di tengah kebuntuan, Beijing Global Times dengan tegas merujuk pada kemampuan terbatas Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya.
“Pemotongan anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara di Laut Cina Selatan termasuk Kepulauan Natuna,” bunyi artikel itu.
“Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi kapal pesiar angkatan laut Indonesia, patroli, dan latihan militer. Sistem militer dan polisi Indonesia khawatir bahwa negara akan kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut. “
Kementerian luar negeri Beijing memperjelas niatnya pada bulan Januari: “Apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, tidak ada yang akan mengubah fakta bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan.”
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah telah meminta kedutaan besar China di Jakarta menjelaskan tindakan kapal penjaga pantai tersebut.
“Kami tegaskan kembali kepada Wakil Duta Besar China bahwa zona ekonomi eksklusif Indonesia tidak tumpang tindih dengan perairan China,” kata Faizasyah.
Serangan itu memiliki nuansa militer.
Penjaga Pantai Tiongkok bukanlah badan penegakan polisi sipil. Sebaliknya, itu dikendalikan oleh Angkatan Laut PLA.
Dan analis internasional mengatakan armada penangkapan ikan China juga bukan perusahaan sipil. Ini adalah milisi yang dikendalikan Negara yang dikoordinasikan oleh komisaris politik dan dilatih untuk beroperasi bersama dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
“Di banyak lokasi, Angkatan Laut CCG / Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) mencoba menormalkan keberadaan kapal mereka dan kemudian menerapkan hak penangkapan ikan dan sembilan garis putus-putus,” kata seorang analis angkatan laut kepada Asia Times.
Jakarta, pada bagiannya, menolak bahkan untuk menerima adanya perdebatan – bersikeras bahwa pendiriannya sepenuhnya ditentukan oleh hukum internasional.
Ia juga berulang kali meminta China dan Amerika Serikat untuk berhenti mencoba memihak dalam perselisihan mereka.
“Perkembangan terbaru ini hanya menyoroti masalah terus-menerus yang dihadapi Indonesia dengan China yang menolak untuk mengalah pada klaim irredentistnya di Laut China Selatan,” kata peneliti Institute of Defense and Strategic Studies yang berbasis di Singapura, Collin Koh.
“Daripada melihat China sebagai lebih agresif, mungkin lebih akurat untuk menggambarkan China sebagai ‘masih agresif’ meskipun ada perselisihan terakhir”. (*)