Mayoritas Anggota DPD Tolak Kenaikan TDL

Anggota DPD RI Marwan Batubara mewakili 97 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menolak rencana kenaikan (tarif dasar listrik) (TDL) yang akan diputuskan oleh pemerintah pada Selasa (21/3). Mereka pun tak setuju berapapun besar kenaikan TDL. Alasannya, kenaikan itu akan berdampak luas dan menambah beratnya beban hidup rakyat pasca kenaikan BBM Oktober 2005 lalu.

“Kami akan minta DPD RI secara institusi menolak kenaikan TDL tersebut pada Rapat Paripurna DPD RI pada 28 Maret mendatang. Soal tidak adanya dukungan dari Pak Ginandjar dan Irman Gusman, yang jelas kami sudah mengedarkan permohonan dukungan itu ke semua anggota dan pimpinan, tapi bagi yang menolak kami tidak tahu alasannya, dan merekalah yang paling tahu mengapa menolak?” terang Marwan Batubara bersama I Wayan Sudirta dan Rusman Djohan kepada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (20/3).

Menurutnya, penggalangan penolakan kenaikan TDL itu sudah dimulai sejak 22 Februari lalu. Selain melalui acara seminar dan menyerap aspirasi aspirasi LSM, pemuda dan masyarakat, juga DPD dan DPR RI sendiri, maka sebanyak 97 anggota DPD (75,78%) mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan TDL.

“Apalagi sejak 1997 dari kenaikan ke kenaikan PLN tidak pernah memperbaiki kinerjanya termasuk korupsi di internalnya sendiri,” sambung mantan petinggi Indosat.

Anggota DPD asal Bali I Wayan Sudirta menjelaskan, pada Oktober 2005 lalu PLN mengajukan subsidi Rp 42 triliun, dan pemerintah hanya menyetujui Rp 14 triliun. “Jumlah itu sesungguhnya bisa ditutupi dengan meningkatkan efisiensi PLN sendiri. Selain itu korupsi yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah di Risi PLN, PLTU Cilacap, PLTG Muara Tawar, PLTD Batu Ampar, PLTD Borang, PLTGU Cilegon, dan Maron Bali, ditambah pajak negara itu sudah cukup bagi PLN,” katanya.

Wayan Sudirta menambahkan, harga minyak mentah cenderung menurun antara 52—53 dollar AS/barel. Optimalisasi pemakaian gas alam untuk listrik dan bukannya diekspor sehingga gas untuk PLN kosong.

”Kan aneh, gas diekspor, sementara gas untuk PLN tidak ada. Padahal penghematan dari gas listrik itu mencapai Rp 23,4 triliun. Dari sini saja sudah bisa menutupi kekuarangan PLN yang hanya Rp 14 triliun,” ujarnya.

Oleh karena itu, katanya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga TDL tersebut. Sebaliknya, kalau dipaksakan dampak negatifnya akan meluas di tengah kondisi sosial politik dan ekonomi bangsa ini terpuruk.

Ia yakin kenaikan TDL itu akan memperburuk perekonomian; pengangguran dan PHK meningkat, perusahaan tekstil akan eksodur ke China, Korea, Thailand, Jepang, dan lain-lain disusul banyaknya perusahaan yang bangkrut.

Kenaikan harga BBM saja sudah mengakibatkan dampak berantai yang menyengsarakan rakyat. Misalnya angka inflasi melonjak dari 8 persen menjadi 17,5 persen, pertumbuhan ekonomi turun 5,5 persen dari target 6 persen, industri bangkrut serta angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin terus bertambah.

Lebih ironis lagi, pengurangan subsidi BBM senilai Rp 24,5 triliun, defisit APBN malah bertambah dengan berkurangnya penerimaan Negara sebesar Rp 44,7 triliun. Sehingga kerugian Negara dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi ternyata lebih besar dibanding penghematan yang diperoleh melalui pengurangan subsidi BBM tersebut. (dina)