Pada awal Juni 2005, dan mungkin pada waktu lainnya, Jakarta pernah gagal menunaikan sebuah fardhu kifayah. Kita lantas mengingat Khaerunnisa (3 tahun). Anak perempuan itu terserang muntaber. Bapaknya, yang membawa berobat ke puskesmas, terhambat masalah dana dan birokrasi klasik: miskin dan tidak terdaftar sebagai penduduk Jakarta. Mereka hanyalah salah satu dari sekian gelandangan pemulung yang hidup dan beraktivitas di gerobak.
Lalu selama 4 hari, anak perempuan malang itu menahan perih. Ia sekarat, terbaring dalam gerobak, mengikuti bapak dan kakaknya, memulung kardus antara Manggarai dan Salemba.
Ahad pagi 5 Juni, Khaerunissa diberi tempat yang lebih baik oleh Sang Khalik. Ia wafat, di antara kardus dan barang pulungan lainnya. Namun malangnya, hak terakhir anak itu -dikubur dengan layak- terhambat karena uang si bapak hanya tersisa enam ribu rupiah.
Dalam kebingungan dan tanpa rencana, si bapak mendorong gerobak pemulungnya yang berisi jenazah Khaerunnisa tanpa arah. Di tengah sebuah masyarakat beradab yang hidup normal, akhirnya si bapak terpaksa membopong jenazah anak perempuannya ke stasiun. Ia berencana menaiki kereta ekonomi ke Bogor dengan menggendong jenazah anaknya. Berharap, Bogor tidak memperdulikan masalah administrasi dan biaya untuk bisa mengubur seorang anak perempuan yang meninggal karena diare.
Lalu, untuk apa kisah Khaerunnisa pada ulang tahun Jakarta ke 482 ?
Ulang tahun Jakarta pada tahun ini, dan pada 4 tahun lalu -2minggu setelah tragedi Khaerunnisa- adalah sebuah kesamaan pola: kemegahan dan pertunjukan. Puncaknya adalah PRJ dan kembang api dengan Gubernur yang tersenyum sumringah. Nyaris tiada sebuah perenungan, kemajuan atau kemunduran Jakarta, yang layaknya dilakukan setiap tahun. Seperti pidato Kenegaraan Presiden pada 16 Agustus, terlepas dari kebenaran isinya.
Jakarta, mungkin lambat laun memilih menjadi “masyarakat merasa nyaman”. Sebuah feel good society definisi George Soros, yang menghindar dari mengetahui kebenaran tak nyaman. Sebuah masyarakat yang menerapkan sensor kebenaran pada dirinya sendiri: enggan mengevaluasi rentetan tragedi, dari banjir besar yang mengancam hingga tak terkuburnya seorang anak, dengan menutupinya melalui seremoni hiburan rutin: PRJ, panggung, dan kembang api.
Padahal, masyarakat pembelajar tahu: untuk mencegah tragedi buruk terulang, hal buruk itu harus diperingati oleh anggota masyarakatnya secara periodik dan sistematis. Orde Baru memakai peringatan 30 September atas komunisme. Yahudi menggunakan museum holocaust beserta film dan karya seni lainnya atas sentimen anti-semit. Tapi Jakarta, di tengah banyaknya pusat perbelanjaan dan panggung hiburan, memilih PRJ dan kembang api entah untuk apa.
Ulang tahun Jakarta seharusnya merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengadakan evaluasi formal-periodik. Sebuah cara yang dapat mencegah hal buruk terulang. Sederhananya, pada tiap hari jadi kota ini, DPRD mengagendakan evaluasi dan Pemda melaporkan: masalah statistik angka kemiskinan, kemajuan proyek banjir kanal timur, evaluasi sistem busway, dan hal lainnya permasalahan klise kota ini. Permasalahan-permasalahan yang kita perlu tahu, sejauh mana sistem bekerja untuk memperbaikinya.
Dengan ini, Jakarta membicarakan kebenaran, yang mungkin tak nyaman, tapi harus dilakukan. Agar hal buruk tak terulang. Agar Khaerunnisa, seorang anak perempuan titipan Ar-Rahman, tak perlu sekarat dalam gerobak selama empat hari. Mati, lalu mencari-cari tempat penguburan.
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (At Takaatsur: 1-8) Rizky A.Hakim