Selama beberapa waktu terakhir, kita disuguhi dengan berbagai pernyataan simpang siur, inkonsisten, dan kontradiktif mengenai kelanjutan pengelolaan Blok Natuna D Alpha sebagai berikut:
- Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro: ”Pemerintah telah menetapkan Blok Natuna D-Alpha sebagai wilayah kerja terbuka migas” (Media Indonesia, 25 Januari 2007);
- Vice President Exxon Maman Budiman: ”Kalau ada pernyataan bahwa Blok Natuna menjadi wilayah kerja yang terbuka sehingga siapa pun bisa masuk, itu tidak pernah disampaikan secara resmi kepada ExxonMobil” (Kompas, 27 Januari 2007);
- Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro: ”Setelah ExxonMobil diberi waktu satu hingga dua tahun, dan negosiasi tidak mencapai titik temu, Presiden minta Pertamina bersiap diri” (Republika, 20 Februari 2008);
- Dirut Pertamina Ari Soemarno: "Sah atau tidak, yang jelas kami sudah memegang surat dari Menteri ESDM untuk mengelola blok Natuna" (Bisnis Indonesia, 11 Desember 2008);
- Dirut Pertamina Ari Soemarno: ”Kami minta kejelasan status ExxonMobil kepada pemerintah, terutama menyangkut masalah hukumnya, sudah selesai apa belum, karena ada pihak yang mempermasalahkan itu” (Kompas, 23 Desember 2008);
- Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro: ”Apa yang perlu dipertanyakan lagi. Keputusan menyerahkan pengelolaan blok itu ke Pertamina sudah melalui sidang kabinet yang dipimpin Presiden, setelah itu juga ada surat dari Menteri ESDM…. Memang punya kita kok, ya tinggal kita ambil, kan?” (Kompas, 27 Desember 2008);
- Vice President Exxon Maman Budiman: “Exxon Mobil masih berhak di Natuna…. Sesuai kontrak dengan Natuna PSC, pengajuan PoD adalah langkah sebelum deadline pengembangan Natuna berakhir 9 Januari 2009. Kami submit PoD, sebagai komitmen pengembangan Natuna” (Indopos, 9 Januari 2009);
- Kami telah menyerahkan perpanjangan PoD kepada Dirjen Migas dan BP Migas. Jadi tinggal tunggu saja hasilnya” (Investor Daily, 9 Januari 2009);
- Kepala BP Migas R. Priyono: “Kalau kontraknya sudah habis pada 2005, buat apa mereka submit (PoD) ke BP Migas?” (Investor Daily, 9 Januari 2009);
- Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro: ”Pemerintah selalu menginginkan kontrak yang terbaik bagi semua pelaku usaha dan pemangku kepentingan di Blok Natuna” (Investor Daily, 9 Januari 2009);
- Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro: "Untuk Natuna, kita tidak perlu rapat kabinet lagi… Kalau habisnya tanggal 9 kan menurut mereka. Harus dibaca itu kontraknya. 2005 sudah habis" (detikcom, 12 Januari 2009).
Simpang siur pernyataan-pernyataan di atas, dapat kita nyatakan sangat aneh, ganjil, dan tidak dapat diterima akal sehat. Pernyataan-pernyataan tersebut bahkan secara nyata menunjukkan ketidaktegasan dan ketidakjujuran pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di Blok Natuna D Alpha. Pemerintah terus memain-mainkan wacana, tanpa mengambil tindakan tegas atas ujung pangkal masalah yang sebenarnya: memberikan kepastian hukum atas status Blok Natuna D-Alpha melalui pemutusan kontrak ExxonMobil di Natuna dan penunjukkan Pertamina sebagai pengelola Natuna yang baru; keduanya secara hitam di atas putih! Kenyataannya, pemerintah seolah terus membiarkan ketidakjelasan status hukum Blok Natuna, sehingga polemik dan perbedaan interpretasi terus berlangsung.
Pemerintah, misalnya, tidak pernah secara resmi menyampaikan surat terminasi kontrak kepada ExxonMobil. Selanjutnya, meski dinyatakan telah tertuang dalam surat Menteri ESDM bernomor 3588/11/MEM/2008 bertanggal 1 Juni 2008, penunjukkan Pertamina sebagai pengelola baru Natuna justru diragukan pihak Pertamina sendiri kekuatan hukumnya. Sehingga, hal ini membuat Pertamina memutuskan menunda proses seleksi mitra kerja sama dalam mengelola Natuna.
Kita sangat khawatirkan, permainan wacana ini hanya merupakan kamuflase untuk sikap akhir yang akan ditunjukkan pemerintah di kemudian hari, yaitu ketertundukan dan kepatuhan pada keinginan ExxonMobil untuk kembali mengelola Blok Natuna!
Ketidaktegasan dan inkonsistensi sikap bahkan selalu ditunjukkan pemerintah dalam penyelesaian masalah Blok Natuna selama ini. Meski Exxon telah merugikan pemerintah selama memegang kontrak Blok Natuna (seperti antara lain dengan menetapkan porsi bagi hasil 0 : 100 untuk pemerintah), serta tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam kontrak (yaitu dengan tidak kunjung membuat Natuna berproduksi selama 28 tahun), pemerintah terus plin plan memutus kontrak Exxon.
Untuk mengingatkan, Exxon telah memegang kontrak Natuna sejak 8 Januari 1980 (saat masih bernama Esso). Exxon kemudian memperoleh perpanjangan kontrak selama 20 tahun pada 1985, sehingga Exxon diperkenankan mengelola blok ini sampai 2005. Namun, selama kurun itu, Exxon tak kunjung membuat Natuna berproduksi. Exxon bahkan tidak mengajukan program pengembangan lapangan seperti diwajibkan kontrak (PSC Section II pasal 2.2 B), sehingga kontrak Exxon di Natuna dinyatakan sudah berakhir terhitung 9 Januari 2005.
Atas hal ini, Menteri ESDM telah mengeluarkan surat No. 514/BP00000/2006-SO tanggal 8 Desember 2006 yang menetapkan kontrak pengelolaan Blok Natuna oleh Exxon telah berakhir. Menteri ESDM juga telah menyatakan kontrak Blok Natuna secara hukum telah selesai sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.040/2006. Pada 25 Januari 2007 Menteri ESDM juga telah menyatakan bahwa lapangan Natuna D-Alpha sudah menjadi wilayah terbuka. Pada akhir Desember 2008 Menteri bahkan menegaskan bahwa Blok Natuna adalah milik nasional, sehingga tinggal diambil oleh pemerintah dan diserahkan kepada Pertamina.
Namun kenyataannya, ketetapan-ketetapan ini tidak diimplementasikan secara konsisten dan konkret di lapangan. Khususnya, hal itu terkait surat terminasi kontrak yang tidak pernah secara resmi dikeluarkan dan disampaikan oleh pemerintah (Departemen ESDM) kepada Exxon. Bahkan, seperti dinyatakan Dirjen Migas Evita Legowo, hingga kini belum pernah ada surat yang menegaskan posisi Exxon setelah pemerintah menyatakan kontraknya selesai di tahun 2005.
Kita mengingatkan pemerintah, bahwa Blok Natuna D-Alpha merupakan aset sangat strategis bagi negara. Tercatat, Natuna D-Alpha adalah salah satu cadangan gas terbesar di dunia saat ini dengan total potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (tcf) dengan potensi yang recoverable sebesar 46 tcf (setara 8,383 miliar barel oil equivalent/ boe). Dengan potensi sebesar itu, nilai Natuna dapat mencapai sekitar US$ 335,32 miliar atau sekitar Rp 3.350 triliun (asumsi harga minyak US$ 40 dan US$ 1 = Rp 10.000).
Selain itu, letak Natuna yang hanya berjarak sekitar 1.100 km dari Jakarta dan 200 km dari Singapura, membuatnya sangat strategis untuk memasok kebutuhan gas bagi negara-negara sekitar seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, dan Korea. Termasuk pula, untuk memasok gas bagi Pulau Jawa yang membutuhkan gas dalam jumlah besar setelah kebijakan konversi energi dari minyak tanah ke gas.
Karena itulah, pengelolaan Natuna D-Alpha segera oleh Pertamina jelas sangat bernilai penting, baik bagi pengembangan Pertamina sebagai BUMN di masa mendatang, untuk menyumbang pemasukan bagi keuangan negara, serta untuk menjamin ketersediaan pasokan gas bagi pasar dalam negeri.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka dengan ini kami menuntut ketegasan dan konsistensi sikap pemerintah untuk segera menyelesaikan sengketa yang terjadi di Blok Natuna, melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- Membuka isi kontrak Natuna D-Alpha antara pemerintah dan ExxonMobil selama ini secara transparan kepada publik untuk menjelaskan seterang-terangnya status hukum Natuna D-Alpha sesungguhnya;
- Menerbitkan secara resmi surat terminasi kontrak Exxon di Natuna, dengan konsekuensi hukum salah satunya adalah keharusan Exxon untuk mengembalikan data-data teknis terkait Natuna kepada pemerintah (sesuai pasal 16 dan 20 ayat 3 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas);
- Menunjuk Pertamina sebagai pengelola Natuna D-Alpha melalui keputusan resmi yang berkekuatan hukum;
- Dalam mengelola Natuna D-Alpha di masa mendatang, pemerintah juga dituntut untuk melibatkan BUMD dan swasta nasional, bersama dengan Pertamina, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada pengembangan industri migas nasional.
Kita mempertanyakan, mengapa pemerintah membiarkan ketidakjelasan status hukum Blok Natuna selama ini berlangsung berlarut-larut? Apa yang menyebabkan pemerintah tidak berani dengan tegas memutus kontrak Exxon? Apakah pemerintah merasa takut atau sungkan terhadap perusahaan AS tersebut?
Apakah pemerintah justru bermain mata dengan Exxon? Adakah kawan karib Exxon di tubuh pemerintah, yang menghalang-halangi lepasnya Natuna dari Exxon? Atau bahkan, rasa percaya diri Exxon atas haknya di Natuna disebabkan adanya jaminan dan dukungan politik dari pejabat tertentu? Bagaimana sikap Presiden sendiri terhadap permasalahan ini? Apakah Presiden justru memberi restu bagi Exxon?
Atas sikap Exxon yang terus bersikeras mempertahankan penguasaannya atas Blok Natuna kita juga mengecamnya dengan keras. Sikap ini jelas menunjukkan arogansi Exxon yang tidak menghormati kontrak dan tidak menghargai kedaulatan pemerintah Indonesia. Sikap ini juga menunjukkan watak khas korporatokrasi Exxon yang tak segan-segan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Untuk itu, akhirnya kita menyerukan Presiden agar berani bersikap dan bertindak tegas, serta menunjukkan bahwa negara ini masih memiliki martabat, kemandirian, dan harga diri!