Mardigu: "Diduga Ada Campur Tangan Asing Ingin Kuasai Papua!"

Sedikitnya ada tiga akar persoalan yang menyebabkan Papua terus bergolak. Ketiganya adalah keinginan merdeka secara politik, keinginan untuk hidup sejahtera, dan adanya campur tangan asing yang menginginkan penguasaan atas sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah- ruah. Masalah semakin menjadi rumit, karena pemerintah sejak Orba hingga kini menempuh pendekatan militer dalam menyelesaikan masalah Papua.

Demikian benang merah yang mengemuka pada Diskusi Perubahan bertema “Papua Dianaktirikan, Kini Terancam Lepas”, yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, Selasa (16/8). Hadir sebagai pembicara pengamat militer dan intelejen dari UI Mardigu Wawiek Prabowo, peneliti Pusat Studi Papua UKI Antie Solaiman, aktivis Imparsial Al Araf, dan tokoh aktivis dari Papua Natalis Pigay.

Menurut Natalis, ada beda pandangan antara Jakarta dan tokoh-tokoh Papua soal integrasi Papua ke NKRI. Bagi nasionalis Jakarta, masalah integrasi Papua sudah selesai. Sebaliknya, bagi tokoh-tokoh Papua, ada masalah dalam proses integrasi tersebut. Hal itu diperparah lagi dengan pembangunan ekonomi pasca integrasi yang gagal yang ditandai dengan timpangnya kesejahteraan rakyat Papua dan Jawa serta pulau-pulau lainnya.

“Tapi baiklah, kita tidak ingin berkutat pada masalah proses integrasi Papua ke NKRI. Yang penting saat ini adalah, bagaimana pembangunan ekonomi di Papua bisa mensejahterakan rakyat di sana. Apalagi hasil sumber daya alam Papua sangat melimpah. Selama ini kekayaan alam itu justru banyak diangkut ke luar Papua. Mereka ingin sejahtera juga seperti rakyat Indonesia di pulau-pulau lain,” papar Natalis.

Ketidakadilan ekonomi

Tokoh nasional Rizal Ramli yang didaulat bicara menyatakan, ketidakadilan ekonomi dan sosial di Papua memang luar biasa. Kekayaan alam Papua yang berlimpah, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat Papua. Sumber daya alam itu justru dibawa keluar Papua oleh perusahaan multi nasional seperti Freeport. Padahal, dengan penduduk yang kurang dari 3 juta jiwa, bila kekayaan alamnya dikelola secara lebih adil, kesejahteraan rakyat Papua pasti bisa dengan cepat ditingkatkan.

“Kondisi itu diperparah dengan perilaku elit dan kebijakan anggaran Papua yang ugal-ugalan. Dana-dana dari pusat, di luar anggaran rutin, hanya 30% yang sampai ke rakyat. Sedangkan 70% nya habis oleh birokrat dan politisi lokal. Saya meminta agar anggaran Pemda diawasi sehingga persentasenya bisa dibalik, 70% untuk rakyat. Jika ini terjadi, barulah manfaat NKRI dapat dirasakan rakyat Papua,” ujar Rizal Ramli.

Soal kesejahteraan ini menjadi salah satu masalah paling krusial di Papua. Rizal Ramli menambahkan, banyak dari aktivitis Papua yang antiotonomi daerah, bahkan yang mulai berfikir tentang negara Papua, adalah mantan-mantan aktifis dan mahasiswa di sekitar Jogya, Malang dan Bali.

“Waktu saya datang ke sana, sebagai sesama aktifis hubungan kami langsung cair dan akrab. Mereka mengatakan jika negara dipimpin tokoh-tokoh pergerakan yang menghayati demokrasi, HAM, dan memiliki empati terhadap rakyat Papua, mereka tidak perlu berjuang untuk Papua merdeka,” ujarnya.

Penjelasan senada disampaikan Natalis. Dari berbagai aspek kesejahteraan rakyat Papua memang sangat tertinggal dibandingkan dengan rakyat Indonesia di kawasan lain. Data ada yang menyebutkan, misalnya, Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Di sisi lain, tingkat inflasi dan biaya hidup di sana sangat tinggi. Harga semen di Kabupaten Puncak Jaya mencapai Rp1,2 juta/sak. Harga sekarung beras terbaik 25 kg di Jawa yang kurang dari Rp200.000, di Puncak Jaya mencapai Rp800.000. Bahkan di Pegunungan Bintang harga premium Rp40.000/liter.

Campur tangan asing

Pengamat militer dan intelejen Mardigu mengatakan, berdasarkan data-data intelejen yang berhasil dikumpulkan, diduga kuat ada tangan-tangan asing yang bermain di Papua. Beberapa indikasinya tampak dari jenis senjata yang digunakan adalah senjata-senjata baru dan bukan senjata standar Indonesia. Selain itu, taktik dan strategi yang para perusuh waktu menyerang, jelas metoda baru yang terlatih.

“Kami menduga kuat ada tangan-tangan asing yang bermain di sana. Mereka melihat kekayaan alam Papua yang sangat melimpah sebagai suatu hal yang ‘seksi’. Jika tangan-tangan asing itu
bisa menguasai Papua, artinya mereka punya akses yang luas untuk menjarah kekayaan alamnya,” ungkap Mardigu tanpa mau merinci lebih lanjut pihak asing yang dimaksudkannya.

Al Araf menambahkan, pendekatan militeristik penuh kekerasan di zaman Orba ternyata masih berlanjut sampai saat ini. Padahal, justru pendekatan militeristik itu yang menjadi penyebab antipati dan kebencian penduduk Papua terhadap NKRI. Apalagi fakta menunjukkan, Jakarta tidak pernah memproses para pelanggar hak azasi manusia (HAM) secara tuntas. Kalau pun ada yang ditindak, hanyalah mereka yang menjadi pelaksana di lapangan. Sedangkan para jenderal yang membuat perintah sama sekali tidak pernah disentuh hukum.

Kelemahan leadership

Lieus Sungkharisma, seorang audien pada diskusi menyatakan, semua persoalan yang terjadi di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini adalah berakar pada lemahnya leadership Presiden. Tingkah laku elit Papua yang hedonis dan gemar berfoya-foya, pada hakekatnya karena mereka meniru para elit di tingkat pusat. Ditambah dengan control yang lemah, mereka jadi tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat, bahkan justru menghambur-hamburkan anggaran untuk kepentingan pribadinya.

“Menurut saya, kuncinya sekarang adalah bagaimana menurunkan Presiden SBY. Dia telah terbukti gagal mensejahteraan rakyat. SBY hanya sibuk dengan berbagai kebohongan dan program pencitraan. Rakyat sudah muak,” kata Liues.