Fenomena kekerasan seksual yang terus merebak bahkan menyasar anak-anak amatlah memprihatinkan. Ibarat gunung es, yang tampak hanya dipuncaknya saja, sedangkan bagian bawahnya sulit dideteksi.
Menurut Susanto, motif yang mendorong kekerasan seksual diantaranya dipicu oleh faktor ekonomi, dendam maupun dorongan seksual yang tinggi. Sejalan dengan itu, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Hasan menyatakan kekerasan seksual terhadap anak 80% dipicu oleh kemudahan mengakses konten pornografi. Bahkan menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yembise, berdasarkan data Interpol dan polri di tahun 2017 saja terdapat 25.000 aktivitas pornografi anak baik yang diunduh maupun diunggah setiap harinya di Indonesia.
Hal ini harusnya menjadi tanda peringatan keras bagi kita khususnya orangtua untuk mengawasi dan membatasi anak dalam penggunaan media internet. Namun, lebih jauh lagi kita perlu memahami bahwa ada persoalan mendasar yang membuat rusaknya tatanan sosial masyarakat saat ini. Tumbuh suburnya nilai kehidupan yang materialistis, hedon dan liberal semakin mengakar di masyarakat. Individu semakin jauh dari Islam.
Syahwat diumbar dan dipenuhi dengan cara-cara yang diharamkan. Maraknya pornografi, digemarinya hubungan di luar nikah seperti pacaran, diiringi dengan propaganda nilai-nilai barat yang asing dalam Islam melalui tontonan, bacaan dan menyebar tak terkendali di media sosial.
Hal ini diperparah dengan rendahnya kontrol masyarakat, lemahnya hukum dan sanksi yang tidak tegas dari negara. Para pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal dengan kerusakan yang diakibatkannya. Bahkan mereka mengulangi perbuatannya tatkala kembali hidup di tengah masyarakat. Sehingga semakin memperlihatkan minimnya tindakan penguasa untuk mencegah, menindak dan menanggulanginya.