Sementara itu sekitar 41% utang negara dalam valuta asing. Dengan average time to maturity 9 (Sembilan) tahun dan yang bertenor (jatuh tempo) 5 (lima) tahun sebesar 40% nya, akan menjadi beban berat APBN dalam 5 (lima) tahun ke depan.
Kekhawatiran lain adalah membengkaknya utang pemerintah karena kurs rupiah yang cenderung melemah sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran utang dalam valas. Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 (lima) hal.
Pertama, neraca perdagangan yg cenderung defisit. Dalam 3 (tiga) bulan terakhir ini yaitu dari Desember sampai dengan Februari 2018 mengalami defisit total USD1,1Miliar atau rata rata USD364juta.
Kedua, kenaikan cadangan devisa yang bersumber dari utang luar negeri dan hot money yang sewaktu-waktu mudah ditarik keluar negeri.
Ketiga, tax ratio yang rendah tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan kedepan kemampuan pemerintah akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
Keempat, sektor industri yang merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31% cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017).
Kelima, kenaikan anggaran 2018 untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena Presiden Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi pemilu 2019.
Mantan Menkeu Fuad Bawazier mengatakan, cepat atau lambat pasar akan menyadari bahwa pemerintah akan memasuki masa-masa sulit untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya dan itu menjerat urat keher rakyat yang ekonominya sudah memberat dan mampat tiga tahun ini..(kl/kfr)