Mantan Ketua MK Kritik Putusan PN Jakpus: Tidak Profesional dan Tidak Mengerti Hukum Pemilu

eramuslim.com – Kritik atas putusan penundaan pemilu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusata datang dari pakar hukum tata negara Jimly Ashiddiqie.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menilai hakim yang memutus layak dipecat. Alasannya, sang hakim sudah melakukan kesalahan secara mendasar.

“Tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu, serta tidak mampu membedakan urusan privat perdata dengan urusan publik,” ujar Jimly.

Pengadilan perdata, harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi. Bukan menunda pemilu yang merupakan kewenangan konstitusional KPU.

Kalaupun ada sengketa proses, maka yang berwenang menguji terbatas pada Bawaslu dan PTUN. Sementara jika ada masalah pada hasil, menjadi kewenangan MK.

“Bukan pengadilan perdata,” jelasnya.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai putusan PN Jakpus berlebihan.

Bahkan melebihi kewenangan sebuah pengadilan negeri “Juga substansi putusan PN Jakarta Pusat bertentangan dengan UUD,” ujarnya.

Seperti diketahui, konstitusi mengatur pelaksanaan Pemilu harus digelar lima tahun sekali. Itu juga berkaitan dengan masa jabatan presiden yang dibatasi 5 tahun.

“Sehingga, mestinya tak ada kewenangan PN Jakpus untuk melakukan penundaan Pemilu,” jelasnya.

Putusan tersebut, jika diikuti akan mengacaukan tahapan Pemilu yang sudah berjalan. Karena itu, pihaknya mendukung langkah KPU yang melakukan banding.

Dalam kasus Prima, jika KPU melakukan kesalahan atau pelanggaran, Jeirry menilai cukup hak Partai Prima dalam tahapan verifikasi yang dipulihkan. Tidak perlu semua tahapan ditunda.

“Bisa repot kita jika banyak putusan seperti ini,” terangnya.

Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. Bukan hanya melanggar UUD 1945, dia menilai PN Jakpus sudah jauh melampaui kewenangannya.

Dengan cara pandang tersebut, ke depan bisa saja semua PN di Indonesia berwenang menggagalkan agenda nasional.

“Bayangkan itu artinya PN Fakfak, Padang Pariaman, PN Jambi, PN lainnya bisa menunda pemilu yang sifatnya nasional,” ujarnya.

Baginya, cara kerja PN seperti itu berbahaya. Sebab, secara terang pengadilan telah melanggar konstitusi yang mewajibkan pemilu digelar rutin sesuai periodisasi pemerintahan.

“Ini ancaman bagi kita semua. Demokrasi kita bisa terganggu,” jelasnya.

 

Sumber: [Fajar]