Mahkamah Konstitusi: Poligami Tidak Bertentangan dengan UUD 1945

Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan uji materiil UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan terutama pasal-pasal 3 ayat 1 dan 2, pasal 4 ayat 1 dan 2, pasal 5 ayat 1, pasal 15 dan pasal 24 terhadap UU 1945. Permohonan pengujian ini dilakukan, karena pemohon merasa dirugikan hak konstitusional untuk berpoligami yang danggap sah menurut hukum Islam.

"Ketentuan-ketentuan a quo tidak bertentangan dengan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminasi sebagaimana diatur dalam pasal 28B ayat 1, pasal 28E ayat 1, pasal 28I ayat 1 dan 2, pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil yang dikemukan oleh pemohon tidak beralasan, sehingga pemohonan pemohon harus ditolak, "tegas Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam persidangan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu(3/10).

Menurutnya, Ketentuan yang tercantum dalam UU bahwa asas perkawinan monogami, namun dalam prakteknya memperbolehkan poligami dengan alasan syarat dan prosedur tertentu tidak bertentang dengan ajaran Islam.

Sementara itu, Hakim Konstitusi lain Rustandi, SH menyatakan, karena pemohon menggunakan dalil-dalil berdasarkan ajaran Islam, maka MK juga mengutip beberapa ayat Al-Quran antara lain Ar-Rum ayat 21, An-Nisa ayat 1, 3 dan 129, serta pendapat para ulama yang menyatakan hukum asal poligami itu adalah mubah atau halal, yakni merupakan suatu hal yang diperbolehkan, namun kebolehan itu harus memenuhi syarat dapat berlaku adil.

"Poligami mungkin dapat berubah menjadi sunnah atau makruh, namun hal ini bukan disebabkan karena substansinya, melainkan kondisi pelaku, waktu, dan keadaan yang melatar belakanginya, sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Quraish Shihab di mana, tujuan perkawinan itu agar tercipta ketenangan (sakinah), yang ditambahkan mawaddah warahmah atau dengan kecintaan untuk tidak saling menyakiti satu sama lain, "jelasnya.

Ia menambahkan, meskipun poligami termasuk kategori muamalah, namun untuk memperoleh suatu keadilan dari pelaksanaanya, negara berhak mengaturnya dalam sebuah instrumen UU.

Menanggapi penolakan itu, pemohon H. Insa menyatakan kecewa dengan putusan yang diambil oleh sembilan hakim konstitusi.

"Saya kecewa dengan putusan ini, karena hakim hanya mempertimbangkan keterangan ahli pemerintah sedangkan ahli dari yang saya bawa tidak diberikan waktu untu memaparkan penjelasannya, "ujarnya. (novel)