eramuslim.com – Mahfud MD mengakui kerap naik jet pribadi milik Jusuf Kalla atau JK. Hal itu setelah muncul fotonya yang berpose di depan pesawat jet pribadi milik JK dengan narasi itu gratifikasi.
Eks Juru Bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengemukakan pandangannya. Apakah Mahfud bisa dikategorikan gratifikasi atau tidak.
Mahfud sendiri melalui media sosial C mengaku dua kali menumpangi jet pribadi JK. Pertama saat ia menjabat ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berkunjung ke Makassar.
“Saya sering naik private jet (PJ) milik Pak JK. Saat jafi Ketua MK saya pernah naik PJ Pak JK Jakarta-Makassar karena diundang khuthbah hari raya di Masjid Almarkaz (Makassar). Pak JK sebagai Ketua Pembina Masjid, mengantar dan menemani saya dengab PJ-nya, plus kamar hotel,” kata Mahfud.
Selain itu, ia bilang pernah menaiki jet pribadi JK saat berangkat ke Palu menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI.
“Pada November 2022 ada Munas KAHMI di Palu. Tokoh-tokoh KAHMI sumbangan sesuai pilihan: ada yang handle gedung, catering, gala dinner, hotel, transportasi. Lalu panitia mengatur. Atas usul Pak JK saya ditugaskan berangkat dengab rombongan PJ Pak JK. Ada juga Anies di situ. Itu foto yang di atas,” ujarnya.
Febri sendiri mengapresiasi Mahfud. Menurutnya, klarifikasi ke publik melalui media sosial perlu dihargai.
“Izin prof @mohmahfudmd ini pendapat pribadi saya. Bisa saja salah. Tapi keberanian memberikan klarifikasi terbuka patut dihargai,” ungkapnya dikutip dari unggahannya di X, Senin (9/9/2024).
Ia bilang ada tiga aspek gratifikasi terlarang. Pertama penerima adalah Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri (PN), kedua penerimaan gratifikasi berhubungan dengan jabatan PN, tiga penerimaan gratifikasi bertentangan dengan kewajiban PN.
“Untuk poin 1, penerima PN. Jelas, Pak Mahfud memenuhi syarat karena saat itu menjabat sebagai Ketua MK. Untuk poin 2 & 3, perlu dipilah dulu, apakah ada penerimaan gratifikasi? Mengacu pada penjelasan Pasal 12 B UU Tipikor, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, trmasuk fasilitas,” jelasnya.
Lalu apakah dengan begitu ada penerimaan gratifikasi oleh Pak Mahfud? Dari klarifikasi pak Mahfud, Febri bilang jawabannya ada.
“Yaitu penerimaan fasilitas pesawat jet. Apakah itu gratifikasi yg terlarang/dianggap suap? Tunggu dulu, perlu analisis poin berikutnya,” ujarnya.
Ia menrangkan, ada yang menbuat gratifikasi tersebut terlarang. Pertama hubungan jabatan.
“Apakah ada hub jabatan (Ketua MK) dengab penerimaan gratifikasi fasilitas pesawat jet dari pak JK tersebut?” ucapnya.
Untuk menjawab adakah hubungan jabatan, perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa dalam diri seseorang (Pak Mahfud) ada beberapa kapasitas. Sebagai Ketua MK, sebagai Suami, Bapak, Mertua atau bahkan Kakek, sebagau warga komplek, sebagai jamaah di mesjid dekat rumah, sebagai ulama, dan lain-lain.
“Kapasitas Prof @mohmahfudmd inilah yang perlu dipertegas. Apakah ketika pergi ke Makasar dg pesawat jet pak JK tsb ia dlm kapasitas sbg Ketua MK atau justru sbg ulama? Kalau sbg Ketua MK, maka gratifikasi yg diterima dianggap suap karena ada hub jabatan,” terangnya.
Namun jika @mohmahfudmd menerima fasilitas pesawat jet dalam kapasitas sebagai ulama untuk melalukan dakwah atau ceramah hari raya di Makasar, tanpa embel-emvel atau fasilitas jabatan, maka menurut saya fasilitas pesawat jet yang diterima tidak memenuhi syarat dsebut memiliki hubungan jabatan.
“Dengab logika yang sama, dalam kapasitas selain sebagai PN, Prof @mohmahfudmd boleh menerima sesuatu. Misal: dari isteri, anak, menantu atau bahkan tetangga dll sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan. Memang gak mudah mengurai dan menjalankan banyak kapasitas dalam 1 diri manusia ini,” imbuhnya.
Ia mengatakan penerapan pasal gratifikasi sudah jadi pembahasan sejak lama. Karena itulah, sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi, UU memberi ruang untuk melaporkan penerimaan ke KPK & KPK diberi waktu menetapkan status gratifikasi maks 30 hari kerja.
“Biar klir, jadi kesimpulannya (didasarkan poin2 klarifikasi Prof @mohmahfudmd): Penerimaan fasilitas pesawat jet bukanlah gratifikasi yg dianggap suap sbgaimana dimaksud Pasal 12 B UU Tipikor,” pungkasnya.
(Sumber: Fajar)