Perlakuan diskriminatif sudah terjadi dalam proses penyelesaian kasus bentrokan di Monas. Hal ini sangat terasa mulai dari proses penangkapan Ketua Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab dan anggota FPI di Markas FPI, di mana selang beberapa jam di tangkap mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka. Sementara mereka yang berasal dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) hanya menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
"Untuk kasus bentrokan Monas, Polisi menggunakan skema terbalik terlalu membesar-besarkan 170 KUHP, tapi tidak cepat mengusut keberadaan senjata api dalam aksi itu, tapi dibiarkan saja, padahal jelas-jelas itu tindakan pidana yang ancamannya hukuman mati, " ujar Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta dalam konferensi pers, di Masjid Al-Barkah As Syafi’iyah, Jakarta, Selasa (17/6).
Menurutnya, kepemilikan senjata api telah ada kejelasannya sesuai dengan prosedur tetap (protap) baik dilingkungan Polri, TNI maupun di Masyarakat sipil. Dalam hal ini Mabes Polri justru berkilah bahwa yang membawa senjata api itu bukan personel polisi, bisa jadi itu TNI atau pun masyarakat.
"Tapi itu jenis senjata revorver organik, saya tidak mau berandai-andai, kami minta itu diusut, " tandasnya.
Ia beranggapan, bahwa kasus bentrokan di Monas tidak lebih dari provokasi, bukan sekedar pengalihan isu yang sedang hangat, seperti kenaikan harga BBM.
Hakim Penjaga Loket
Mengenai penahanan yang masih dilakukan aparat kepolisian terhadap Ketua FPI Habib Rizieq, Mahendradatta menekankan agar pengadilan dapat bertindak objektif dalam menangani kasus yang melibatkan Front Pembela Islam (FPI) dalam insiden monas.
Ia meminta, majelis hakim dapat bekerja secara optimal, tidak hanya melihat prosedur yang terdapat dalam surat menyurat, tetapi mengungkap hal-hal yang mengarah pada titik terang kasus tersebut.
"Hakim jangan sampai seperti penjaga loket, yang tergantung pada surat yang ditandatangani atau cap ada. Praperadilan harus berusaha masuk ke dalam melihat bukti-buktinya, " pungkasnya.
Mahendradatta menilai, ada upaya-upaya untuk mengkebiri hakim praperadilan, yang hanya mengandalkan bukti-bukti surat, hakim seolah-olah hanya sebagai penjaga loket. (novel)