Lembaga Sensor Film (LSF) berjanji akan melakukan penyensoran film secara lebih ketat dan selektif sebagai langkah untuk mengurangi keresahan masyarakat terhadap film dan sinetron yang beredar di tanah air.
"Saat ini ada beberapa film baik dalam maupun luar negeri yang sempat beredar di tengah masyarakat melalui akses internet menimbulkan keresahan, hal itu harus ada filter dari pemerintah dan itu bukan kewenangan LSF, " kata Ketua Komisi Masalah Kemasyarakatan LSF Rey Sita, di Jakarta, Rabu (14/5).
Sebagai contoh disebutkanya, film ML (Mau Lagi) yang saat ini diributkan oleh masyarakat, padahal filmnya masih dalam tahap penyensoran sehingga belum beredar baik di bioskop, televisi maupun VCD dan DVD. Namun telah dapat diakses melalui internet, atau jika ada yang beredar di pasaran mungkin itu bajakan, karenanya untuk proses penyelesaiannya bukan kewenangan LSF tapi pihak Kepolisian.
Rey menegaskan, LSF sebenarnya bukan tukang memotong film, dan untuk itu dia minta kepada produser film agar berupaya membuat film yang memenuhi kaidah dan norma yang berlaku di satu negara, sehingga film tersebut tidak perlu ada pemotongan.
Di negara manapun, seperti AS, Inggris dan Australia, yang dikenal kebebasan berekspresi, tetap memiliki berbagai lembaga, UU, konstitusi atau badan yang melakukan pembatasan terhadap film yang beredar, apalagi di Indonesia yang emosi warganya cepat tersulut.
”Kadang kami juga sering kaget ada film yang seharusnya diedarkan di bioskop, tapi dalam waktu 1-2 bulan sudah banyak yang dicetak dan dijual berbentuk VCD dan DVD, dan bahkan kadang masih dalam proses sensor di LSF, ” ujarnya.
Dia menjelaskan LSF bekerja berdasarkan proaktif pemilik film untuk mendaftarkan filmnya untuk disensor, bila mereka tidak mendaftarkan filmnya dan tidak melalui sensor LSF, maka yang akan menindak adalah Kepolisian dan bukan LSF.
Rey mengatakan, saat ini pihaknya kerap menemui banyak bahaya laten, moral dan segala bahaya yang dapat ditimbulkan bila tontonan tidak disensor, karena itu peran aktiv masyarakat diperlukan untuk mencegahnya.
Menurut dia, yang menjadi masalah di film bukan tontonan yang hanya bisa memberi hiburan, tapi film tersebut harus dapat memberikan nilai tambah yang bersifat positif bagi penontonnya seperti ilmu pengetahuan, moral dan infomasi.
Untuk itu, LSF ini anggotanya terdiri dari pakar berbagai unsur, di antaranya unsur agama, pendidikan, hukum dan keamanan, sehingga LSF bukan hanya melakukan pensensoran film bioskop dan sinetron yang bersifat hiburan saja, tapi juga film dokumen, bahasa dan sejarah.
Sementara itu, anggota LSF Anwar Fuadi menyatakan, tidak dapat membayangkan apa yang terjadi bila setiap film tidak disensor oleh badan yang diberikan kewenangan yang diatur oleh UU.
"Bagaimana bila ada film yang dibuat oleh produser tertentu menyinggung perasaan kelompok, dan mereka main hakim sendiri-sendiri, maka semua menjadi kacau, sehingga keberadaan LSF merupakan upaya menetralisir dan filter bangsa dari hasil karya kreatif seseorang, " pungkasnya.(novel/bip)