Tanggal 12 Oktober lima tahun lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, dua buah bom meledak di Bali. Bom pertama meledak di Paddys Café, termasuk berdaya ledak rendah (low explosive), dan disusul kemudian dengan ledakan bom berkekuatan sangat tinggi (high explosive) di Sari Club, Kuta. Saat itu pemerintah Bush tengah gencar-gencarnya merekrut negara-negara lain, salah satunya Indonesia, agar mau bergabung dengan AS dalam perang melawan terorisme.
Ketika itu Presiden Megawati kurang memberikan tanggapan. Atas desakan umat Islam, pemerintah Megawati kala itu gamang merespon ajakan Bush. Dan meledaklah Bom Bali. Usai tragedi itu, pemerintah Megawati pun mau tidak mau berperan serta, aktif dalam perang melawan apa yang dinamakan AS sebagai terorisme. Indonesia saat itu sangat pro-aktif menangkapi para aktivis Islam, hingga banyak kalangan secara sinis menyebut republik ini telah menjadi negara bagian AS ke 51.
Amrozi dan kawan-kawan telah mengakui membom Paddys Café, yang berdaya ledak rendah. Namun mereka menolak sebagai pelaku yang meledakan bom berkekuatan sangat tinggi yang meledak di Sari Club, Kuta. “Kami tidak memiliki kemampuan untuk membuat bom sedahsyat itu, ” ujar Imam Samudera suatu ketika.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) alm. Letjen. ZA. Maulani saat itu berkeyakinan bahwa yang meledak di Sari Club adalah bom mikro nuklir. “Hanya mikro nuklir yang memiliki efek ledakan seperti itu, bukan RDX apalagi TNT. Dan mikro nuklir yang ada di dunia ini hanya diproduksi di instalasi nuklir Dimona, milik Israel. ”
Temuan Maulani dikuatkan oleh Joe Vialls. Mantan pakar demolisi dari kesatuan elit tentara Inggris SAS, yang kemudian desersi dan menetap di Australia sebagai pengamat masalah-masalah intelijen juga meyakini bom yang meledak di Sari Club adalah mikro nuklir, karena ada efek cendawannya. “Efek cendawan merupakan satu-satunya efek yang bisa dibuat oleh bom nuklir. Dan bom yang meledak di Sari Club, Kuta-Bali, memang mikro nuklir, ” ujar Vialls.
Letjen Maulani menghembuskan nafas beberapa waktu kemudian karena sakit. Dan Joe Vialls juga menemui ajal beberapa tahun kemudian. Kematiannya mencurigakan karena sangat mendadak. Ada indikasi Vialls diracun oleh MOSSAD, sama seperti Litvinenko diracun oleh agen-agen KGB atas perintah Vladimir Putin.
Saat terjadinya ledakan, sebuah kapal perang AS memang tengah melabuh jangkar di pelabuhan Genoa Bali dan anehnya bisa melakukan sweeping sekeliling kapal dalam radius ratusan meter, agar siapa pun tidak mendekat. Ini sesuatu yang aneh bin ajabi terjadi di republik yang berdaulat penuh.
Kesaksian seorang kapten angkatan bersenjata Australi yang tengah berlibur di Kuta dan selamat dari ledakan di Sari Club juga patut mendapat perhatian. Menurutnya, beberapa detik sebelum bom meledakkan Sari Club, aliran listrik padam di sekitarnya, seolah ada gelombang elektomagnetik atau gelombang radiasi yang menyebabkan listrik padam. Dan Vialss maupun Maulani yakin bahwa temuan ini memperkuat analisanya tentang mikro nuklir.
Namun sampai hari ini kepolisian kita masih saja berkeras kepala bahwa yang meledakkan dua bom di Bali itu Amrozi dan kawan-kawan. Betapa hebatnya Amrozi cs. Dan kepolisian juga menutup mata dan telinga tentang temuan-temuan yang mengarah ke penggunaan mikro nuklir. Bisa jadi, atas prestasi kepolisian inilah maka AS mengucurkan bantuan berupa dana dan aneka pelatihan yang tidak sedikit kepada Polri agar bisa lebih lincah menangkapi ‘teroris’. Pembentukan Detasemen 88, kesatuan khusus pemburu teroris, merupakan salah satunya di mana para personil detasemen ini dilatih oleh instruktur-instruktur yang didatangkan dari AS langsung dan merupakan mantan anggota FBI dan CIA.
Selain temuan-temuan di atas, juga harus diusut siapa sesungguhnya Ali Imron yang pernah kepergok tengah berada bersama perwira polisi Gorries Mere di Café Starbuck Kuningan, padahal kala itu Ali Imron sedang berstatus tahanan. Oleh banyak kalangan, Ali Imron diyakini sebagai double agent.
Lalu patut pula kiranya diselidiki, harakah apa atau kelompok pengajian apa sesungguhnya yang diikuti oleh Amrozi, Imam Samudera, Dulmatin, Hambali, dan ‘teroris-teroris’ lainnya yang secara seenak perutnya menganggap jihad itu bisa dilakukan dengan mengebom banyak tempat orang asing di Indonesia? Ulah mereka ini tentu saj abanyak merugikan perkembangan dakwah Islam yang sesungguhnya sejuk dan rahmatan lil-alamin.
Amrozi dan kawan-kawan saat dipenjara di LP Nusakambangan pernah mau digebuki tahanan lainnya gara-gara menyatakan bedug itu bid’ah. Amrozi dan kawan-kawannya ini memang dikenal mudah menyatakan ini itu sebagai bid’ah jika tidak sesuai dengan pemahaman mereka. Bagi kepolisian, sikap Amrozi and the gank ini sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk untuk mengusut harakah apa yang selama ini diikuti oleh gerombolan yang mengebom di sana-sini? Agar pihak kepolisian bisa secepatnya memberangus mereka.
Selain itu, meledaknya sebuah bom saat ada acara pengajian di rumah salah seorang dari kelompok ini di Cimanggis, Depok, juga sangat bisa dijadikan pintu masuk. Kasus yang dikenal sebagai Bom Cimanggis ini telah membuktikan kepada kita siapa sebenarnya kelompok yang berada di balik aksi-aksi terorisme di Indonesia selama ini.
Bagaimana bisa sebuah pengajian ternyata mengajarkan cara merakit bom. Saat itu polisi menangkap belasan laki-laki dewasa bercelana cingkrang dan para isteri-isteri mereka yang juga berada di sana—lain kamar—yang seluruhnya mengenakan cadar. Polisi, jika mau, sebenarnya sangat bisa menciduk mereka satu persatu. Ini jika mau, tentunya. Jika itu dilakukan akan terlihat siapa sesungguhnya dalang, siapa sesungguhnya pemain atau yang dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, dan siapa yang telah dirugikan. Suatu saat hal ini harus dibuka dengan sejujurnya. (Rizki)