Tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Gaza telah menyentakkan hati seluruh warga dunia. Rakyat yang hidup tenang di negara kecil warisan leluhurnya tiba-tiba dihujani bom yang menghancurkan bangunan dan perasaan mereka. Tidak hanya bangunan milik pemerintah yang menjadi target empuk penghancuran, tapi juga sekolah, perguruan tinggi, masjid dan perumahan penduduk. Ribuan penduduk menjadi syuhada, darah dan air mata terkuras. namun semangat rakyat Gaza sungguh luar biasa, meski sedih mereka tetap optimis untuk memperjuangkan haknya atas tanah yang telah diwarisinya sejak ribuan tahun lalu..
Keprihatinan dan solidaritas atas penderitaan rakyat Palestina mendorong BAZNAS untuk menggalang kepedulian rakyat Inrdonesia. BAZNAS meluncurkan program Uluran Kasih untuk Palestina, karena yang diperlukan rakyat Palestina adalah rasa kasih dari seluruh warga dunia. Kasih berarti simpati, empati atas penderitaainn rakyat Palestina dan siap mengulurkan tangan untuk membantu mereka. Kasih juga berarti mendukung upaya mereka mempertahankan haknya. Melalui program ini BAZNAS mendapatkan titipan dana untuk membantu meringankan beban rakyat Palestina yang hidup terpenjara seumur hidupnya di tanah kelahirannya.
Awalnya BAZNAS tidak merencanakan perjalanan ini. Rencana semula titipan dana yang diterima dari masyarakat untuk Palestina akan diserahkan kepada Dubes Palestina di Jakarta. Tetapi banyak pihak yang justru ingin BAZNAS menyerahkan langsung kepada pengungsi Palestina di Gaza. Apalagi ada amanah dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada saat tasyakuran milad BAZNAS ke 8 tangal 17 Januari 2009 yang mendukung BAZNAS untuk membantu rakyat Palestina. Akhirnya diputuskan BAZNAS berangkat bersama rombongan Komite Solidaritas Indonesia untuk Palestina (KISPA) dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Tim BAZNAS yang akan berangkat adalah Pak Basit, alumni Al Azhar Kairo, yang bahasa Arabnya pasti lancar sekaligus diharapkan mempermudah urusan di KBRI Mesir karena sebagian besar staf KBRI adalah teman-teman kuliahnya. Ketika diputuskan perlu satu lagi, secara spontan saya mengajukan diri, alhamdulillah Prof. Didin Hafidhuddin, ketua BAZNAS setuju. Saya yakin berangkat karena ibu, anak-anak dan last but the important things, suami saya mengizinkan (thanks God, telah memberikan saya suami yang selalu mendukung).
Kami semakin mantap untuk mengunjungi Gaza setelah mendengar adanya cerita tentang seorang ulama besar di Mekkah yang bermimpi Rasulullah dalam keadaan marah, mengenakan pakaian untuk bersiap-siap ke Gaza. Mimpi itu menguatkan kami, bahwa perjalanan membantu rakyat Gaza merupakan satu hal yang diinginkan oleh Rasulullah.
Mulailah perizinan diurus. Alhamdulillah, tim BAZNAS yang terdiri dari saya dan Pak Basit serta 3 orang dari KISPA (Ust Ferry Nur, Pak Muhendri dan Pak Okvianto) sejak awal diberi kemudahan yang luar biasa dari Allah. Allah menurunkan malaikatya di pos-pos pengurusan keberangkatan ke Palestina. Sejak dari pengurusan visa ketat Mesir yang akhir-akhir ini agak sulit, terbukti dari teman-teman dari beberapa lembaga yang sudah beberapa hari menunggu visanya belum juga keluar, BAZNAS justru sebaliknya. Dengan calling visa, kami bisa mendapatkan visa dalam waktu sehari. Pemesanan tiket juga mendapatkan pertolongan Allah. Berkat bantuan orang dalam Garuda, tim mendapatkan diskon yang sangat besar untuk penerbangan dari Jakarta ke Jeddah (hanya membayar tax), dan diskon lumayan dari Egypt Air untuk Jeddah- Kairo.
Setelah semua siap, urusan selanjutnya adalah niat. Sejak awal saya mengikhlaskan niat bahwa keberangkatan ini semata-mata untuk menyampaikan amanah masyarakat Indonesia melalui BAZ propinsi, kota/kabupaten dan BAZNAS kepada rakyat Gaza. Kadang terbersit kekhawatiran kalau dicap sok atau nekad, karena saya satu-satunya perempuan dalam tim yang bukan dokter dan tidak didampingi suami. Dua perempuan lainnya adalah dr Prita dari BSMI (istri dr. Basuki Partono, ketua Tim BSMI) dan dr. Nur Farhana dari Mer-C (bersama suaminya dr Abdul Mughni ). Tapi berkali-kali saya pancangkan niat ikhlas lillahi ta’ala, semuanya hanya karena Allah. Dengan mengikhlaskan niat, Bismillah, kami siap untuk kejadian apapun di perjalanan nanti.
25 Januari 2009
Minggu pagi, pukul 7.55 tim BAZNAS dan KISPA bertolak ke Kairo via Jeddah dengan garuda flight GA 984. Rombongan BSMI telah berangkat Sabtu sore ke Kairo dengan SQ. Perjalanan sangat lancar. Fasilitas business class GA 984 membuat perjalanan 9 jam Jakarta-Jeddah terasa nyaman.
Sedikit hal yang agak kami sayangkan, kami tidak bisa membawa bagasi BSMI berisi obat-obatan & peralatan medis karena tidak didukung surat izin & list barang. Untuk Jakarta-Jeddah, mungkin barang-barang tersebut mungkin bisa terbawa. Namun, kami khawatir bagasi tersebut tidak dapat lolos di bandara King Abdul Azis, Jeddah karena pengawasannya yang sangat ketat. Dan ini terbukti, saat transit kami bahkan tidak bisa mengambil bagasi & cek in ke konter Egypt Air. Untuk transit, semuanya diurus oleh petugas bandara. Paspor & tanda terima bagasi diambil petugas yang langsung menghilang entah ke mana hanya dengan janji setelah akan mengembalikan kepada kami setelah urusan beres. Kami cukup cemas dengan kebijakan tersebut. Bayangkan, betapa tidak jelasnya nasib paspor dan barang bagasi kami. Kami hanya bisa berharap dan tawakal serta berpikir positif bahwa Abdullah, si Arab yang satu ini memang menepati janji. Pemeriksaan penumpang saat masuk ke ruang tunggu transit pun cukup ketat, tak kurang ikat pinggang & sepatu harus dilepas saat memasuki security door. Kami semua deg-degan karena khawatir uang lebih Rp. 3 milyar cash dalam berbagai mata uang (sbgn besar dlm euro & dollar) yang kami bawa berlima menjadi masalah. Saya, bahkan harus menunggu tak kurang 30 menit untuk masuk ke ruang tunggu keberangkatan, karena saat itu tidak ada polisi wanita yang akan memeriksa. Setelah digeledah dan buka-buka baju luar (thanks God, si askarwati kelihatannya tidak mengerti nilai Euro) akhirnya saya lolos pemeriksaan dan bisa masuk ke ruang tunggu keberangkatan King Abdul Azis Airport..
Setelah transit empat jam, kami terbang ke Kairo dengan Egypt Air. Pukul 8 malam (pukul1 dinihari waktu Jakarta) kami mendarat di Kairo. Disambut staf KBRI, kami melewati imigrasi Mesir dengan mulus. Akhirnya 17 jam perjalanan kami ke Kairo pun berakhir. Kami menginap Griya Jawa Tengah di hayu Asyer, sebuah wisma milik Pemda Jateng yang dikelola mahasiswa asal Jawa Tengah di Kairo. Wisma dengan 6 kamar seharga USD 15-30 per malam ini cukup bersih dan nyaman. Di griya Jawa Tengah ternyata menginap juga wartawan SCTV, dan pendamping wartawan Kompas di Gaza. Setelah menggali cerita dan mengobrol panjang lebar, saya pun pamit. Tak lama berselang, saya pun terlelap, melewatkan ajakan bu Yuli, staf KBRI, untuk jalan-jalan dan makan malam.
26 Januari 2009
Hari pertama di Kairo.
Cuaca sebenarnya tidak terlalu dingin sekitar 20o C, tapi airnya sangat dingin. Kalau di luar, angin dinginnya terasa sangat keras menampar-nampar muka. Menurut informasi, suhu Kairo sangatlah ekstrim. Saat musim panas suhu bisa diatas 40o C sebaliknya di musim panas mendekati 0o C. Untunglah griya Jawa Tengah dilengkapi dengan fasilitas pemanas ruangan dan air panas sehingga cuaca di luar tak terasa. Pukul8 pagi kami mengunjungi rekan-rekan BSMI yang menginap di Wisma Nusantara di hayu Rabatul Adawiyah, Kairo. Rencananya pagi ini mereka akan berangkat ke Rafah. Kami ingin berkoordinasi dengan mereka sblm memutuskan jenis bantuan yang akan diberikan kepada rakyat Palestina. Ternyata dr Basuki dan tim dokter sdh berangkat. Pak Djazuli dan tim support juga sdh bersiap-siap berangkat.ke Rafah. Kami tidak sempat berkoordinasi lagi.
Siang, kami mengunjungi dealer tempat pemesanan ambulance BSMI. Kami menjajagi kemungkinan untuk memesan ambulance di dealer yang sama. Ternyata ambulance yang sudah dijanjikan dealer belum siap. Kami bertemu dengan Pak Danang dan tim dari KBRI yang juga memastikan kesiapan ambulance. Karena menurut dealer, ambulance akan siap Selasa pukul1 siang yang langsung akan diantar ke KBRI. KBRI bermaksud menyerahkan empat unit ambulance (sumbangan dari Depkes 1 unit, BSMI 1 unit, sumbangan masyarakat Arab & Mesir) kepada Palang Merah Palestina di Rafah Selasa malam. Pak Amir KBRI menawarkan BAZNAS dan Kispa untuk berangkat bersama tim KBRI bersama konvoi ambulance.
Sore, pukul15 waktu Kairo kami diterima oleh Dubes RI di Mesir, Bp. Fachir didampingi oleh Bp. Burhanudin. Agenda beraudiensi dengan Dubes selain berkoordinasi dan meminta masukan serta pertimbangan tentang jenis bantuan untuk rakyat Palestina dan seluk-beluk izin masuknya, juga tentang rencana sosialisasi zakat di lingkungan masyarakat Indonesia di Kairo. Pak Dubes menjelaskan bahwa izin masuk perbatasan tidak hanya ditentukan kedubes Mesir tapi juga oleh Israel. KBRI sudah memaksimalkan upaya agar Tim Kemanusiaan Indonesia bisa mendapatkan izin. Namun banyak faktor di luar kontrol Kedubes. Kedubes Mesir pun sudah cukup membantu. Beliau mewanti-wanti agar kami bersabar jika izin belum diberikan. Saya pribadi tidak terlalu memaksakan diri apalagi memaksa KBRI untuk mengupayakan kami masuk ke Gaza. Ketika semua persyaratan sudah dilengkapi, saya tinggal bertawakal. Jika diizinkan masuk alhamdulillah, tidak pun alhamdulillah karena mungkin itu yang terbaik bagi kami semua. Saya tidak ingin mengurangi keikhlasan niat dengan ambisi pribadi.
Pukul 17 pertemuan berakhir dan kami baru sadar bahwa kami belum makan siang. Pak Hamdani staf KBRI mengajak makan di restoran Yaman tak jauh dari KBRI. Tapi jalanan Kairo sangat macet dan semrawut sehingga maghrib masih di jalan.
Kami pun sholat maghrib di masjid Sekolah Indonesia Kairo (SIK), berjama’ah dengan pelajar & mahasiswa Indonesia di Kairo. Tim Kispa yang menggunakan kendaraan lain bahkan kesasar dan baru sampai di SIK pukul 20 kami baru sampai di restoran Yaman. Nasi kebuli dengan potongan besar paha kambing & kalkun memuaskan perut yang keroncongan sejak pagi. Saat bapak-bapak asyik menggerogoti tulang-tulang kambing & kalkun, ada telepon dari Pak Danang yang menyatakan ambulance sudah siap, dan jika ingin berangkat bareng, kami ditunggu di KBRI paling lambat pukul 23..
Kepanikan pun timbul, karena kami harus kembali ke griya Jateng Asy Shir, mengepak pakaian & kembali ke KBRI yang arahnya berlawanan. Jalan Ramses yang macet luar biasa membuat kami hampir terlambat sampai di KBRI. Satu hal yang berkesan dari Kairo adalah lalulintasnya yang semrawut. Sopir yang ngebut, memotong jalan seenaknya benar-benar memacetkan jalan. Pantas saja sepanjang jalan saya tidak melihat mobil yang mulus, semua mobil punya bekas goresan, tak terkecuali mobil-mobil mewah. Lampu merah hampir tidak ada, satu-satunya ada di depan museum Kairo yang ternyata justru membuat jalanan semakin macet.
Alhamdulillah, pukul 23.15 tim KBRI (Pak Danang, Pak Amir & Pak Samsul) dan tim BAZNAS & Kispa beserta 4 ambulance meluncur menuju Rafah. Perjalanan ke Rafah sangat lancar, meski harus berhenti berkali-kali di pos pemeriksaan. Tak kurang 13 pos pemeriksaan sepanjang Ismailia – Rafah. Alhamdulillah karena yang berangkat pejabat KBRI pemeriksaan berlalu tanpa masalah. Dengan kecepatan di atas 150 km per jam jarak 500 km ditempuh dalam waktu 7 jam, termasuk istirahat 2 jam. Saat subuh, kami sholat di masjid Al Aqsa, masjid kecil di pinggir jalan tak jauh dari perbatasan Rafah.
Pak Samsul KBRI menyatakan kalau kami bisa masuk ke Gaza pagi ini berarti saya adalah perempuan Indonesia pertama yang masuk Gaza, selain Umi Saodah, TKW yang sudah terjebak di Gaza, sejak sebelum agresi Israel.
27 Januari 2009
Sejak subuh kami sudah di perbatasan Rafah. Pejabat KBRI direncanakan bertemu dengan Palang Merah Palestina untuk penyerahan ambulance tersebut pada pukul 9. Jadi kami harus menunggu, sambil menunggu perbatasan dibuka. Rafah adalah kota kecil, di kiri kanannya yang gersang sesekali terlihat kebun bawang bombay yang kelihatan mengering. Ada juga kebun zaitun yang jarang-jarang. Di tengah-tengah kebun gersang di pinggir Rafah yang berbatasan dengan Gaza, konon menjadi muara ujung terowongan penghubung Gaza dengan dunia luar.
Di perbatasan, bergabung dr Basuki dan 10 dokter BSMI yang sudah sejak sehari sbelumnya menunggu izin di Rafah. Karena belum mendapat izin masuk maka mereka menginap dulu di Arisy yang berjarak 40 km dari Rafah. Perbatasan Rafah hanyalah sebuah tempat dengan pintu gerbang yang dijaga tentara Mesir. Tidak ada bangunan sehingga para pencari izin hanya duduk-duduk menunggu di pinggir jalan tanpa peneduh, atau menunggu di sebuah warung kecil. Ada beberapa ibu berdagang korma dan kacang almond dengan kualitas rendah, mungkin hasil panennya sendiri. Kormanya masih terasa sepat dan kulit almondnya hitam dekil. Beberapa anak mengasong kurma, kacang almond dan kartu telepon perdana. Tanpa penginapan, maka para pencari izin biasanya menginap di Arisy, sebuah kota di pinggir laut mediterania yang menjadi tujuan wisata di musim panas. Di musim dingin seperti sekarang, banyak vila atau penginapan yang kosong sehingga para pencari izin masuk Gaza di Rafah sebagian besar menginap di Arisy. Tak lama kemudian, juga datang tim Mer-C termasuk Ust Othman Shihab dari Arisy yang bahkan sudah tiga hari bolak-balik Rafah-Arisy menunggu izin untuk masuk Gaza. Kemudian tim Republika (termasuk Mas Naryo dari Dompet Dhuafa) juga bergabung dalam barisan pencari izin. Selain tim Indonesia dan penduduk Mesir dan sekitarnya, banyak tim dari negara-negara lain seperti Turki, Yunani, wartawan Belanda, Mer-C Malaysia, dokter Afrika Selatan dan banyak lagi. Truk-truk bantuan dari Kuwait, Arab Saudi, Mesir dan negara-negara sekitar menumpuk di depan gerbang menambah panjang antrian.
Pukul 9, pagi hari, saat pintu gerbang dibuka, tim KBRI dengan izin diplomatik khusus bisa masuk ke dalam pintu gerbang untuk menemui Palang Merah Palestina dan menyerahkan 4 ambulance yang dibawanya. Tapi kami tim kesehatan & kemanusiaan tidak bisa begitu saja lolos, harus menunggu izin dulu. Meski telah masuk pejabat2 KBRI tak kunjung keluar sehingga kami tidak tahu kabar terakhir tentang permohonan izin tim Indonesia.
Para calon pengunjung Gaza yang sudah mendapat izin berangsur masuk. Juga truk-truk bantuan. Tapi banyak juga truk bantuan yang setelah barangnya diperiksa akhirnya ditolak. Ambulance bawaan KBRI yang didalamnya berisi obat-obatan & peralatan kesehatan milik BSMI bisa masuk, tetapi 4 generator sumbangan dealer ambulance ditolak. Water purifier sumbangan Turki juga ditolak. Menurut informasi barang-barang yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan seperti generator dan water purifier memang termasuk barang terlarang. Bahan pangan pun diseleksi ketat, yang diizinkan hanya susu dan makanan bayi .
Waktu terus berjalan, dan kami terus menunggu. Menurut informasi, hari ini giliran tim kemanusiaan dan tim medis yang diizinkan masuk, sedangkan kemarin khusus untuk pers. Tapi informasi itu bisa setiap saat berubah. Terbukti bahwa pers pun terutama yang dari negara Eropa pagi ini justru masuk. Sedangkan tim medis belum. Pukul 12, dokumen saya dan Pak Basit dikembalikan, dan katanya agar dicoba lagi besok. Sedangkan dokumen tim BSMI, Kispa & Mer-C belum ada kabarnya. Saya sudah hampir meninggalkan tempat mencari taksi menuju Arisy. Tapi kemudian saya berubah pikiran dan ingin menunggu di Rafah sampai saat tutup perbatasan yaitu pukul 16.
Selepas pukul 14 siang, tiba-tiba Haris (mahasiswa Indonesia di Kairo) yang membantu pejabat KBRI tiba-tiba muncul di pintu gerbang sambil membawa setumpuk paspor kami dan menyatakan bahwa kami semua diizinkan masuk. Alhamdulillah. Ini benar-benar pertolongan Allah melalui bantuan pejabat KBRI Pak Danang dan tim. Jadilah kami tiga perempuan Indonesia yang masuk ke Gaza.
Bagi kami ini sungguh hari keberuntungan, karena kami tidak sampai menunggu berhari-hari untuk mendapatkan izin masuk Gaza.
Setelah melewati imigrasi Mesir, dengan bis tua kami (18 orang anggota tim yang terdiri dari orang-orang BSMI, BAZNAS & Kispa) dan 11 orang Mer-C dibawa ke imigrasi Palestina. Suasana Rafah bagian Palestina sangat berbeda dengan Rafah Mesir. Taman yang asri terlihat di sekitar kantor imigrasi, pohon-pon kurma menghijau, rumput segar, dan pagar pohon semacam teh-tehan di Indonesia tertata rapi. Kantor imigrasinya sangat sederhana, tapi bersih. Di kantor imigrasi kami disambut oleh Jubir PM Gaza, yang menyampaikan ucapan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran tim kesehatan & kemanusiaan dari Indonesia.
Selanjutnya kami diantar ke Gaza City naik ambulance sumbangan Indonesia. Sepanjang perjalanan Rafah-Gaza City berjarak 40 km, kami disuguhi pemandangan yang menyejukkan mata. Kebun-kebun jeruk lebat dengan buah ranum siap dipanen menghampar sepanjang jalan. Juga kebun sayuran (paprika, tomat, terong) ditanam rapi di atas tanah bertutup plastik dan kebun zaitun yang menghijau. Sesekali melintas kereta himar (keledai) mengangkut hasil panen. Anak-anak sekolah dengan seragam sekolah paling keren yang pernah saya lihat yaitu blus bergaris biru dan celana jins biru, atau setelan jins (rok/celana dan jaket) biru berjalan santai pulang sekolah. Keadaan begitu tenang tak menyiratkan kengerian atau kecemasan perang seperti terlihat di televisi.
Pemandangan mengenaskan mulai terlihat saat mendekat ke Gaza City. Bekas serangan bom terlihat di kiri kanan jalan. Bangunan yang hancur, ladang yang porak-poranda dan puing-puing berserakan menunju uakkan bahwa kota ini telah terkoyak keindahan dan ketenangannya.
Lewat pukul 17 sore kami sampai di RS Asy Shifa di Gaza City, tempat tim Indonesia diinapkan. Hal lain yang sangat berkesan bagi saya adalah sambutan tuan rumah yang begitu hangat. Bagi orang Palestina, menyambut tamu adalah kewajiban yang utama. Kami diterima oleh direktur RS dan pejabat penghubung Mr. Umar Ja’far. Tim dokter dari BSMI dan Mer-C akan bergabung dengan dokter dari negara lain (Yordania, Turki, Afsel) ditugaskan ke RS Asy Shifa atau RS lain di sekitar Gaza City. Sedangkan tim kemanusiaan akan diantar langsung mengunjungi lokasi bencana untuk menentukan jenis bantuan dan penerima bantuan yang tepat.
Malam ini tim Indonesia yang pria diinapkan di mess dokter di belakang RS Asy Shifa, sedangkan kami yang wanita (saya, dr Prita & dr Nur) diinapkan di kamar pasien RS Ibu & Anak Asy Shifa.
RS Asy Shifa adalah rumah sakit terbesar di Gaza City. Ribuan pasien berobat setiap harinya. Di RS Asy Shifa saat ini tim dokter dari seluruh dunia berkumpul. Dari Afrika Selatan ada 25 orang, Malaysia 10 orang, belum termasuk dokter Yordania, Turki dan negara-negara lain. Fasilitas kesehatan cukup lengkap meskipun sangat sederhana. RSIA Asy Shifa tempat kami menginap, fasilitasnya jauh lebih sederhana dibandingkan RS lain.. Bangunannyanya tua seperti RS jaman perang dengan ranjang besi tua dan seprai dan selimut usang. Belum lagi lampu-lampu yang mati dan saluran air yang mampet, membuat RSIA ini terlihat sangat menyedihkan. Ada beberapa selimut baru yang kelihatannya sumbangan dari tim medis yang datang sebelum kami.
28Januari 2009
Hari kedua di Gaza City. Alhamdulillah, meski dingin, cuaca hari ini lebih hangat dibandingkan dengan berita di TV yang katanya dibawah 0o C. Kehadiran tim Indonesia diterima secara formal oleh pemerintah Gaza. Jam 8 pagi wakil Menteri Kesehatan Gaza datang memberikan penyambutan resmi. Beliau menjelaskan kondisi Gaza akibat agresi Israel, antara lain : 1380 orang syuhada, 2000 rumah hancur, puluhan kantor pemerintah dan laboratorium di semua sekolah dimusnahkan. Juga 30 masjid rusak parah. Mereka membutuhkan banyak dana untuk membangun kembali fasilitas yang rusak. Bantuan untuk kesehatan diharapkan diserahkan langsung ke direktur RS Asy Shifa, Dr. Hassan.
Seusai pengarahan saya berjalan berkeliling RS. Di lobi penyakit dalam, saya bertemu seorang ibu yang menunggu Ahmad, 15 tahun, anaknya yang terkena pecahan bom di kepala. Suadatery, ibu yang berasal dari Shobron yang tabah ini tak kehilangan semangat meskipun telah kehilangan tiga anggota keluarganya mjd syahid. Berkali-kali beliau hanya mengucap kalimat tahlil, shalawat kepada Rasulullah dan hasbunallah wa nikmal wakiil.
Di halaman RS didirikan sebuah tenda berisi memorabilia agresi Israel : pecahan bom, mortir, missil dan poster-poster bergambar anak-anak & wanita yang menjadi korban, reruntuhan bangunan dan asap cendawan bom yang membumbung ke angkasa. Tenda tersebut ramai dikunjungi orang. Di taman-taman sekitar RS yang tertata rapi, puluhan pemuda 20 tahunan yang beberapa diantaranya membawa senjata di tangan sibuk berdiskusi sambil sesekali menoleh ke arah mobil yang lewat seakan menunggu seseorang atau mobil yang menjemput mereka. Ketika akhirnya ada sebuah pick up bak terbuka yang datang, mereka langsung melompat ke bak belakangnya dan melaju keluar RS.
Masjid besar di samping RS tak pernah sepi pengunjung. Saya tidak diizinkan masuk, karena tradisi di Gaza tidak ada perempuan yang ke masjid. Sesekali diumumkan nama-nama syuhada hari itu. Kami sempat bertemu imam masjid, seorang pemuda berumur 23 tahun, Kholid, hafidz Qur’an yang penampilannya sangat kasual yaitu berjaket wool dengan jins biru bahkan juga saat mengimami sholat berjamaah. Kholid adalah imam pengganti setelah imam yang sebelumnya, menjadi syuhada pada agresi Desember lalu.
Jam 12.30, ba’da zuhur, kami bersama tim dari negara-negara lain (total 4 bis) diantar pejabat yang berwenang mengunjungi beberapa lokasi yang terkena bom (city tour). Hampir semua bangunan pemerintah hancur juga bangunan perumahan (apartemen2). Menurut informasi, serangan untuk gedung pemerintah & sekolah biasanya dilakukan pada malam hari sehingga tidak ada korban. Tetapi untuk perumahan, ada telepon ke rumah-rumah tertentu yang meminta penghuni keluar dalam 5 menit. Setelah itu dibom. Serangan kadang juga ngawur : ternak, ladang, pohon-pohon tak luput menjadi sasaran, seolah tujuannya hanya ingin menghancurkan atau menunjukkan kekuasaan (show of force). Agresi juga seringkali tidak proporsional puluhan bom & tank diturunkan hanya untuk menghancurkan sebuah bangunan. Astaghfirullah hal adziem…..
Tujuan kunjungan pertama adalah University College Applied Science (UCA), perguruan tinggi khusus teknologi dan science termodern di Gaza. Rombongan disambut dengan seremonial khusus yaitu ceremony of doctor honoring for supporting Palestina aggaints Israili attacts di ruang pertemuan megah yang sebagian atap dan dindingnya bolong tapi telah ditutup dengan plastik. Setelah mendengarkan sambutan dari Rektor dan pejabat universitas serta melihat presentasi sebelum& sesudah UCLA, kami semua diberikan sertifikat Doctor Honouring karena telah mensuport rakyat Palestina, juga syal khas palestina dan gantungan kunci bergambar peta palestina. Kami mengunjungi kelas-kelas yang hancur, yang terutama dijadikan target adalah lab science, lab komputer dan lab animasi. Universitas ini mempunyai satu-satunya lab animasi di Gaza yang membuat games Road to Gaza yang rencananya akan diedarkan di seluruh negara muslim. Juga komik dan film-film animasi untuk menumbuhkan kecintaan anak-anak kepada masjidil Aqsa. Sayangnya baru enam bulan lab tersebut dipakai, dan belum sempat mengedarkan hasil produksinya, lab tersebut telah hancur. Puluhan tank yang ditempatkan di ladang tak jauh dari universitas dan puluhan roket yang ditembakkan dari pesawat selama 6 hari berturut-turut tak hanya merusak UCLA tetapi juga menghancurkan masjid kecil di sebelahnya.
Tapi hebatnya warga Gaza, begitu serangan berakhir, mereka segera berbenah: merapikan puing-puing, pecahan kaca, memasang plastik atau seng di dinding yang berlobang dan segera memulai perkuliahan. Universitas dengan 7.200 mahasiswa dan 350 dosen ini seolah tak terusik jadwal perkuliahannya dan sekarang sedang memasuki masa ujian.
Kunjungan kedua dilakukan ke Islamic University of Gaza, sebuah universitas Islam tebesar di Gaza. Bangunannya sangat megah dalam sebuah kompleks yang luas. Dari sekian banyak bangunan ternyata yang diincar adalah gedung laboratorium yang berlokasi tepat di tengah kompleks kampus. Bangunan 8 lantai seluas lebih dari 1000 meter itu pun luluh lantak. Saya heran sekaligus kagum, betapa jitu dan tepatnya Israel menembakkan bomnya, karena bisa menghancurkan sebuah lab tanpa menyentuh sedikitpun bangunan lain di sekitarnya.
Tujuan selanjutnya adalah rumah alm Syekh Ahmad Yassin, seorang tokoh Gaza yang menjadi syuhada. Rumah beliau sangat sederhana, di sebuah gang kecil gelap di Gaza City. Kami diterima oleh putranya yang menyambut tim dengan hangat, dan menjelaskan perjuangan dan semangat beliau. Kami juga menapak tilas jejak syahid beliau yang diserang sepulang sholat subuh di masjid kecil 100 m dari rumah beliau.
Waktu telah menunjukkan pukul 8 malam, tapi perjalanan belum berakhir. Kunjungan terakhir adalah RS kecil yang menjadi limpahan pasien saat RS Asy Shifa tidak mampu menampung. RS ini pernah merawat Ismael Haniyya, PM Gaza yang diserang Israel. Jam 9 lewat kami kembali ke RS Asy Shifa.
Perjalanan memang cukup melelahkan. Tapi banyak pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan ini. Betapa kita harus lebih banyak bersyukur. Dibandingkan rakyat Gaza, penderitaan akibat kemiskinan kita bukanlah apa-apa.
29Januari 2009
Hari kedua di Gaza. Suhu udara lebih dingin dari hari sebelumnya. Dengan fasilitas kamar mandi seadanya, kami terbiasa untuk mandi sehari sekali. Untunglah di udara dingin ini tidak ada keringat yang keluar, sehingga saat tidak mandi kami cukup mengelap badan menggunakan tissue basah.
Pagi ini kami diantar Kholid, imam masjid Abbas untuk berkunjung ke Darul Qur’an wassunnah (DQS), pusat hafidzul Qur’an terbesar di Gaza. Kami disambut dengan hangat oleh direktur DQS Syekh Hamdi Madukh, Madrasah tahfidzul Qur’an wassunnah berdiri sejak tahun 1993, mempunyai 7 cabang di beberapa wilayah Gaza. Saat ini jumlah muridnya 12.000 orang laki-laki dan perempuan. Madrasah ini berhasil mencetak hafidz/hafidzoh hanya dalam waktu 2 bulan ditambah 1 bulan untuk penyempurnaan. DSQ menerima murid dari segala usia, terbayak umur 10-12 tahun. Pendidikan berbiaya USD 100 per orang ini diberikan secara gratis, dalam dua shift yaitu pagi jam 9-12 dan sore jam 4-8 malam. Dana operasional berasal dari lembaga dan donatur dalam serta luar negeri. Saat ini alumni DSQ mencapai 7.000 orang, target tahun 2009 mengeluarkan 10.000 hafidh dan 30.000 orang khatam Al Qur’an (program tialawah) Ada 50 anak yg menjadi syahid.selama serangan Israel dlm 20 hari ini. Guru hafidz 1200 orang, dimana seorang guru membimbing 10-12 orang. Metode hafalan dilakukan dengan mengulang hafalan setiap hari selama 2-3 jam, dan hafalan dimulai dari juz Amma, baru dlanjutkan ke juz berikutnya.
Fasilitas DQS sangatlah lengkap dan rapi sehingga kegiatan menghafal Qur’an menjadi saat yang menyenangkan seperti anak-anak mengikuti les atau mata pelajaran lanilla. Kami bertemu dengan Abdurrahman ar raquut, 8 tahun yang telah mampu menghafal 7 juz dengan sempurna. Kegiatan menghafal Qur’an sangat marak di Gaza, dan terlihat dari jumlah halaqah yaitu lebih dari 1000 halaqah tahfidzul Qur’an. Melihat maraknya kegiatan menghafal Qur’an tak heran jika semangat rakyat Gaza tak pernah hilang untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Dan mendengar mereka membaca ayat-ayat jihad berulang-ulang, rasanya wajar kalau mereka selalu merindukan gelar syuhada.
BAZNAS memberikan sumbangan sebesar 5.000 Euro untuk mendukung operasional DQS. Sedangkan Kispa memberikan USD 10.000 untuk guru-guru DQS dan USD 7.000 untuk anak-anak penghafal Qur’an di 7 cabang.
Pukul 12 siang, kami kembali ke RS Asy Shifa untuk dijemput pejabat UCLA. Saat saya dan pak Basit duduk di depan gerbang RS, datang seorang laki-laki sekitar 25 tahun menghampiri kami. Saya tidak terlalu memperhatikan laki-laki itu karena perhatian saya sedang tertuju lepada rombongan siswi SMP yang akan menjenguk temannya di RS. Laki-laki itu bertanya dari mana kami, apa yang kami kerjakan di sini dan sebagainya sebagaimana pertanyaan warga Gaza lain saat menjumpai kami. Tapi kemudian dia berbicara dengan nada tidak ramah dan cepat dan langsung berlalu dari depan kami. Saya Belem sempat bertanya ke Pak Basit tentang perkataannya, karena jemputan sudah datang. Kami langsung berangkat dan lupa tentang kejadian itu.
Siang ini kami akan memberikan bantuan ke UCLA. BAZNAS memberikan bantuan 10.000 Euro dan KISPA memberikan USD 10.000. Bantuan diterima langsung oleh Dr. Yahya R. Sharraj, rektor UCLA. Estela menyerahkan bantuan kami diantar melihat kerusakan bangunan, dan lapangan tempat pululan tank berjajar rapi asyik menembaki bangunan tujuh hari berturut-turut berselang-seling dengan tembakan roket dari udara.
Sore, kami kembali ke DQS untuk diantar mengunjungi cabang-cabangnya yang lain. Cabang pertama adalah DQS di Jabaliyah, darul Qur’an yang terbesar di wilayah Gaza utara. Gedung DQS setinggi 8 lantai di tengah perkampungan padat penduduk ini tak luput dari agresi Israel. 2 lantai teratas hancur. Tapi seperti lembaga lainnya di Gaza, kerusakan itu tak mengusik kegiatan menghafal Qur’an di lantai-lantai di bawahnya. Hancurnya DSQ ini semakin menguatkan kesan bahwa Israel benar-benar tepat dalam membidik sasaran, terbukti hanya bangunan DSQ yang runtuh, tak mengusik perkampungan di sekitarnya.
Di DSQ Jabaliyah, kami bertemu dan sempat diwawancara oleh TV Al Aqsa. Mereka heran mengana orang-orang Indonesia jauh-jauh datang ke Gaza, dan apakah tidak khawatir terhadap agresi yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Di Jabaliyah juga, kami bertemu seorang bapak yang mengiba-iba meminta bantuan karena rumahnya rusak terkena pecahan roket.
Jabaliyah yang hanya berjarak 1,5 km dari perbatasan Israel memang daerah yang paling sering mendapat serangan. Dari gedung DQS bahkan terlihat perbatasan Israel dan bukit-bukit hijau tempat para mujahid bertempur.
Sepanjang jalan terlihat toko yang mensual lampu dan kompor minyak tanah. Listrik menjadi barang langka di kota ini. Sehingga ketika kami lewat di jabaliyah selepas maghrib, jalanan begitu gelap dan sepi. Kota diliputi kegelapan dengan sedikit sinar lampu menyeruak dari jendela rumah-rumah. Sebagian besar penduduk jabaliyah hádala pengungsi yang terusir dari wilayah yang kini diduduki Israel Di Jabaliyah, kami baru merasakan aroma perang, dan kecemasan karena sewaktu-waktu bisa terjadi serangan mendadak.
Pukul 19.30 kami mengunjungi DQS Az Zaitun di Sabrán yang berpusat di masjid Abul Azzam. Meski sekelilingnya gelap, malam itu kegiatan DQS Az Zaitun sangat semarak dengan lantunan hafalan Qur’an dari berbagai jenis usia. Lantunan indah menggetarkan hati membuat kami merasa seolah-olah kami tidak memerlukan apa-apa lagi selain kecintaanNya.
Pukul 21.00, diantar staff DQS kami mencari makan malam. Bapak-bapak sudah kangen nasi jadi harus cari restoran yang ada menú nasinya. Dengan semangat mereka memesan, tapi sekali lagi kami terhenyak melihat porsinya yang sangat jumbo : nasi kebuli dengan setengah paha kambing melintang di setiap piring. Setelah bersusah payah menghabiskan dan ternyata tidak habis juga, nasi itu dibungkuslah untuk sarapan.
Balik ke RS Asy Shifa, saya disambut dr Nur Farhana dengan berita mengagetkan. Dr Prita dan dr Basuki secara mendadak harus kembali ke Kairo karena satu urusan penting. Dan jika keluar Rafah, artinya kemungkinan untuk kembali ke Gaza sangat kecil, karena harus mengurus perizinan kembali. Sejak sore ternyata dr Nur yang sendirian di kamar sangat khawatir karena mendengar suara rentetan tembakan di sekitar RS. Saya yang berada di luar justru tidak mendengar bunyi tembakan, mungkin karena saat itu sedang di Shabran larut mendengar hafalan Al Qur’an. Saya baru sadar suasana agak memanas setelah menerima sms yang bertubi-tubi dari Indonesia yang menanyakan kabar kami setelah mendengar berita dari televisi ada serangan di Gaza. Malam itu saya tidur dengan gelisah, karena seharian ini kami mengunjungi lokasi-lokasi yang selama ini menjadi target penghancuran. Saya khawatir jika kegiatan kami sudah ditandai dan akan mempersulit izin kami untuk keluar Gaza. Karena saat ini yang dikhawatirkan rakyat Gaza bukan serangan terbuka, tapi jusru mata-mata di dalam. Dinding pun bertelinga, begitu kata mereka.
30Januari 2009
Jum’at adalah hari libur di Gaza. RS sangat sepi. Kota terasa sangat lengang. Tidak ada penduduk yang berlalu lalang. Saya yang seharusnya mengunjungi beberapa lokasi lagi : rumah keluarga syuhada, masjid-masjid yang rusak dan anak-anak yatim disarankan oleh staf RS untuk tidak keluar kompleks RS Asy Shifa. Menurut mereka RS Asy Shifa saat ini adalah tempat paling aman di Gaza.
Suasana terasa mencekam. Akhirnya kami memutuskan untuk segera menuntaskan amanah dan besok pagi harus keluar Gaza. Kemarin sebenarnya kami dijadwalkan untuk ketemu Menkes untuk menyerahkan bantuan untuk obat-obatan, peralatan medis dan fasilitas kesehatan lainnya terutama untuk korban agresi. Tetapi rupanya Menkes tidak datang sehingga penyerahan bantuan tertunda. Karena itu pagi ini kami berupaya menghubungi direktur RS Asy Shifa. Meskipun hari libur rupanya beliau sibuk sehingga hanya tersedia waktu 30 menit sebelum Jum’at untuk ketemu beliau. Alhamdulillah, BAZNAS menyerahkan 35.000 euro untuk perbaikan fasilitas di RSIA Asy Shifa dan biaya pengobatan korban agresi Israel dan KISPA menyerahkan bantuan sebesar USD 56.000.
Sebelum penyerahan bantuan, ada satu hal kecil yang membuat saya agak kaget. Saat penjaga keamanan RSIA Asy Shifa tempat saya menginap mengantarkan kami ke ruang dr Hassan, tiba-tiba dia menanyakan ke pak Basit : Anda kemarin ke Darul Qur’an?. Kami heran kok dia bisa tahu, padahal dia hanya penjaga RSIA dan kami pergi jauh keluar dari RS.
Bapak-bapak (Ust Ferry Nur, Pak Muhendri dan Pak Okvianto dan Pak Basit) berencana sholat Jum’at di masjid Darul Qur’an. Ust Ferry akan memberikan ceramah setelah sholat Jum’at. Saya tidak ikut, karena tradisi di Gaza tidak mengizinkan perempuan ke masjid. Dari beberapa masjid yang kami kunjungi, hanya masjid Abbas yang menyediakan tempat untuk perempuan, itupun sepi. Setelah menghadiri jamuan makan siang di rumah imam masjid, Bapak-bapak mengunjungi dua cabang Sekolah Tahfidzul Qur’an Darul Qur’an wassunah yang lain yaitu di masjid Ahmad Yassin dan di Sekolah Pemuda & Olahraga, yang merupakan satu-satunya cabang Darul Qur’an di luar masjid. Di sana kami memberikan bantuan untuk anak-anak yatim penghafal Al Qur’an. Selepas sholat Jum’at ada demo besar di kantor Mahkamah Syariah Gaza yang hancur. Bapak-bapak tak ketinggalan ikut berdemo bersama rakyat Gaza lainnya. Suara sirene dan ambulance meraung-raung. Saya yang menunggu di RS hanya bisa menebak-nebak apa yang terjadi di luar kompleks RS Asy Shifa. Ya Allah, lindungilah kami, lindungilah warga Gaza. Selamatkan mereka dan berikan mereka tanah yang menjadi haknya.
Setelah mengikuti demo, bapak-bapak anggota tim BAZNAS dan KISPA berziarah ke makam para syuhada termasuk makam Syekh Ahmad Yassin yang dilanjutkan dengan mengunjungi keluarga para syuhada. Kami pun menyalurkan bantuan kepada mereka.
Ba’da maghrib kami ke masjid Abbas, yang terletak di Jl Omar Muchtar, jalan utama kota Gaza. Masjid Abbas terletak persis di samping kanan kantor kepolisian Gaza yang luluh lantak akibat bom. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa Israel seringkali hanya mengincar target-target tertentu. Syekh Alauddin Yassin, ustadz masjid, membantu kami bertemu dengan anak-anak yatim korban agresi di masjid Abbas tersebut. BAZNAS menyerahkan bantuan 2.500 euro kepada mereka.
Kami diundang makan malam di rumah Syekh Alauddin Yassin, di hayu Ramal yang berjarak sekitar 500 m dari masjid Abbas. Saya agak was-was berjalan diantara rombongan pemuda Palestina di jalan-jalan gelap. Meski tak segelap dan selengang Jabaliyah, jalanan di Gaza minim penerangan. Cahaya listrik hanya terlihat dari perumahan atau toko. Pertokoan buka sampai jam 9 malam. Dua hari terakhir ini saya agak paranoid terhadap serangan mendadak ketika berada di tengah kerumunan pemuda Palestina. Bayangan saya, di ujung-ujung jalan gelap itu sudah menunggu sniper.
Keinginan kami untuk segera keluar Gaza semakin kuat ketika pak basit menceritakan bahwa pemuda yang menjumpai kami di gerbang RS kemarin ternyata mata-mata. Dia mengancam akan menangkap kami kalau kami keluar kompleks RS. Ketika ancaman tersebut disampaikan ke pengurus masjid Abbas, mereka meminta identifikasi lebih detil tentang si pemuda untuk dicari lebih lanjut. Waduh……ngeri.
Jamuan makan malamnya sangat enak. Roti is dengan cacahan ayam & tuna bersaus thousand island ditambah pizza buatan sendiri dengan topping tomat & paprika. Yang mengejutkan ada sambal dabu-dabu dan sambal tomat segar yang disajikan diatas cobek kayu mirip di restoran Sunda.. Menu ini berbeda dengan jamuan makan siang yang diadakan imam masjid Darul Qur’an tadi siang yaitu nasi kebuli dengan seekor ayam utuh untuk setiap orang. Waduh !
Kami juga diundang mengunjungi Syekh Amin Makany, seorang sufi sepuh yang tinggal tidak jauh dari rumah Syekh Alauddin Yassin. Beliau mendengar kedatangan tim Indonesia dan ingin bertemu, tapi karena lumpuh kami yang akhirnya berkunjung ke rumahnya. Beliau sangat gembira dikunjungii sampai menangis terharu. Rumahnya sangat sederhana, meskipun keempat putranya sukses menjadi dokter, insinyur dll dan beliau memang ingin zuhud. Seluruh tim didoakan beliau sambil menangis. Insya Allah, Allah mengabulkan doa orang suci tersebut.
Pukul 21, kami diantar mengunjungi masjid Omar Kabir. Masjid ini adalah masjid terbesar di Gaza, yang letaknya sangat tersembunyi, berada diantara toko-toko di pasar yang padat. Perjalanan ke sana benar-benar mencemaskan. Hanya dua mobil kami yang melintas di jalanan lengang dan gelap. Saat mobil kami berhenti di pojok jalan yang sangat gelap, saya benar-benar khawatir. Beberapa pemuda berjas / jaket hitam langsung mengerumuni mobil kami. Tim turun dari mobil dan mengetuk sebuah pintu tua. Setelah menunggu beberapa saat, pintu dibuka dan rombongan diantar masuk menuruni tangga dengan penerangan cahaya telepon genggam.
Saya yang tidak tahu bahwa itu pintu masjid (di atas pintu tidak ada tulisan apapun), bahkan hampir menolak turun, dan ingin menunggu di mobil. Sekali lagi paranoid saya kambuh, khawatir itu adalah tempat pertemuan kelompok mereka dan di langit ada mata-mata yang mengincar dari udara. Di sisi lain menunggu di dalam mobil pun saya lebih takut lagi, karena lorongnya begitu gelap dan sepi. Apalagi mendengar adanya penculikan-penculikan yang masih sering terjadi.
Setelah mereka mengajak bergabung dan meyakinkan bahwa di dalam sangat aman, saya pun ikut turun. Begitu kami sampai di dalam, generatornya dinyalakan. Dan ternyata, SUBHANALLAH! Ini adalah masjid yang sangat indah dan besar.
Masjid Omar Kabir, sudah menjadi tempat peribadatan sejak 500 tahun sebelum Masehi. Ketika Kristen menguasai Gaza, tempat itu diubah menjadi gereja kecil. Saat khalifah Umar bin Khattab masuk Gaza, pertama kali beliau berniat sholat di situ. Pendeta menawarkan kepada khalifah Umar untuk sholat di gereja itu. Tapi beliau menolak dan sholat di samping gereja. Kemudian oleh khalifah Umar gereja kecil itu diubah menjadi masjid dan kaum Kristen diberi tempat untuk membangun gereja lagi tak jauh dari masjid tersebut. Seiring berkembangnya Islam, masjid Omar bin Khattab terus diperbesar sehingga disebut Omar Kabir. Saat perang dunia kedua, masjid dihancurkan Inggris karena dianggap sebagai tempat penyimpanan senjata dan dicurigai di dalam masjid terdapat terowongan persembunyian tentara Turki. Tetapi menurut imam masjid, yang masih famili dari Ismail Haniyya, terowongan itu sesungguhnya saluran air dan sekarang pun sudah ditutup karena tidak berfungsi.
Saat ini masjid Omar Kabir sedang diperluas dan direnovasi. Tetapi karena larangan pengiriman bahan bangunan dari luar Gaza, renovasi terbengkalai. Meski belum selesai, semua aktivitas penting rakyat Gaza dilakukan di masjid itu. Para syuhada, termasuk Ahmad Yassin disholatkan di masjid Omar Kabir. PM Ismail Haniyya juga sering berdoa di masjid ini. Kegiatan hafidzul Qur’an tak pernah sepi dilakukan di masjid ini. Mereka hanya berdoa semoga Allah melindungi masjid indah dan bersejarah yang menjadi simbol rakyat Gaza ini dijaga dan dilindungi Allah dari kehancuran. Hasbunallah wa nikmal wakiil, begitu doa rutin mereka.
Pukul 23, kami diantar ke RS Asy Shifa. Saya khawatir gerbang RSIA sudah ditutup, karena kalau tutup, saya tidak tahu harus bermalam di mana. Tapi alhamdlillah malam itu ada pasien yang datang mau melahirkan sehingga pintu masih dibuka. Malam itu paranoid saya kambuh lagi, ketika tengah malam pintu kamar digedor petugas yang melakukan pengecekan. Saat saya buka mereka menanyakan siapa saya, darimana, berapa orang di kamar dan sebagainya. Ketika saya katakan kami berdua, mereka ingin melongok ke dalam kamar dan menanyakan siapa yang satu lagi. Dr Nur yang sudah hampir terlelap dan rapat tertutup selimut (karena udara sangat dingin) pun kaget dan terbangun.
Saya benar-benar khawatir, sepak terjang saya yang keluyuran ke pelosok-pelosok Gaza sudah terekam petugas. Masalahnya bahkan orang Gaza pun sulit menentukan apakah orang-orang sekitar itu kawan atau bukan? Dr. Nur juga sangat khawatir. Kabar bahwa ada tiga orang dokter RS Asy Shifa yang terbunuh dan bahkan para dokter itu sebagian tidak berani mengendarai mobil ke RS karena mobilnya sudah ditandai membuat kami tak bisa menikmati tidur malam itu. Alhamdulillah, malam itu tak terjadi apa-apa. Allah menjaga kami. Hasbunallah wa nikmal wakiil, saya mengikuti doa orang-orang Gaza.
31 Januari 2009
Sabtu pagi, kami direncanakan untuk bertemu keluarga syuhada lain. Mereka akan menjemput kami mengunjungi keluarga-keluarga tersebut sebelum kami meninggalkan Gaza. Tetapi suasana tidak memungkinkan, kami ditemui koordinatornya. Penyerahan bantuan, sisa uang kami terakhir 5.500 euro dilakukan di canadiano cafe, di kompleks RS Asy Shifa.
Canadiano cafe adalah meeting point favorit kami. Pertama, karena letaknya yang strategis, tepat di tengah lokasi RSIA tempat saya menginap dan mes dokter tempat tim bapak-bapak menginap. Kedua, di RSIA tidak ada fasilitas apa-apa, bahkan air putih pun, apalagi air panas dan sarapan. Kami harus menyediakan sendiri kebutuhan kami. Saya yang seharian keluyuran bahkan tidak sempat untuk menukar uang & mampir ke toko membeli apapun untuk persediaan di kamar. Di udara yang dingin membeku ini, secangkir teh atau cokelat panas sangat membantu untuk menghangatkan tubuh. Jadilah saya ke cafe untuk secangkir teh beraroma daun mint sambil menunggu Bapak-bapak saat janjian mau kunjungan. Ketiga, penjaga cafe ini, Yusuf Muhammad, sangat hangat menerima kami. Sambil menunggu bapak-bapak kami mengobrol panjang lebar. Dia menjelaskan foto-foto Gaza lama berbingkai rapi yang terpajang di dinding cafe. Masjid Omar Kabir di tahun 1920 an, Jl Omar Muchtar lama dan sejarah Gaza. Dia juga mengenal Indonesia dari televisi, dan yang paling diidngatnya adalah presiden Soekarno. Waduh, out of date sekali, padahal umur si Yusuf ini belum lewat 30 tahun. Sewaktu saya menanyakan tentang kemungkinan berdamai dengan Israel, dia mengatakan tidak. Meskipun selama ini Israel dan negara-negara pendukungnya berpura-pura baik, memberikan donasi, tapi semuanya palsu. Mereka ingin memusnahkan Palestina, begitu katanya.
Pukul 10 pagi kami bertolak menuju Rafah….
Selamat tinggal Gaza, bumi para mujahid. Lima hari tinggal di sana banyak pelajaran dan hikmah yang harus diteladani dari masyarakat Gaza. Kesan pertama, mereka sangat memuliakan tamu. Mereka sangat senang menerima tamu. Di setiap tempat yang kami kunjungi, kami selalu diterima dengan hangat dan ramah, tulus tanpa dibuat-buat, disambut oleh seluruh pejabat lembaga di pintu gerbang mereka. Dijamu dengan baik, meskipun dengan sederhana tapi terlihat bahwa mereka begitu bersungguh-sungguh memberikan yang terbaik untuk tamu. Mereka bilang bahwa kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari, tapi untuk tim Indonesia mereka menyediakan waktu seminggu untuk melayani, mendampingi, mengantar dan menjamu kami. Bahkan mereka dengan sigap membayari souvenir yang kami pilih untuk oleh-oleh. Jumlah 850 sekhel sungguh tidak kecil untuk mereka, tapi saat kami ingin membayar sendiri mereka sangat marah. Sungguh merupakan kehormatan yang luar biasa menjadi tamu mereka.
Kesan kedua, budaya menebarkan salam. Setiap bertemu mereka selalu mengucapkan salam baik sesama mereka apalagi dengan kami. Di jalan, naik kendaraan, ketemu saat shalat, ketemu saat makan dan di mana saja, dengan siapa saja mereka mengucapkan salam. Orang-orang Ghaza sangat ramah, terbuka dan suka mengobrol. Di setiap kesempatan berjumpa, mereka selalu berinisiatif untuk menyapa dan mengajak kami mengobrol, meskipun sebagian besar tidak mengetahui bahasa asing. Setelah dua puluh tahun tanpa pernah melihat orang selain Palestina, Yahudi dan Arab, kini mereka sangat senang dan antusias bertemu dengan orang asing. Petugas cleaning service di RSIA, Ummu Muhammad, bahkan mengajak ngobrol saya setengah jam lebih tanpa masing-masing kami tahu persis artinya. Tapi saya bisa menangkap ceritanya tentang perang, bayi yang terbunuh, anaknya yang sembilan dan keinginannya untuk menelepon saya kalau saya sudah kembali ke Indonesia. Juga dia selalu memeluk dan memberikan kiss by (mmuah…mmuah…mmuah…, katanya berulang kali mewakili ciuman anaknya yang sembilan untuk saya) Wah..wah….benar-benar jenis komunikasi yang aneh. Keramahan juga ditunjukkan oleh petugas imigrasi saat kami hendak keluar Rafah. Kami disambut dengan salaman dan pelukan di kantor imigrasi Palestina. Seingat saya baru di kantor imigrasi Palestina lah pendatang berpeluk-pelukan dengan petugas imigrasi.
Kesan ketiga, orang-orang Gaza sangat optimis menghadapi kehidupan.. Mereka tinggal di apartemen atau rumah-rumah yang baik. Kebersihan fasilitas umum jauh lebih baik dibandingkan di wilayah Arab lainnya. Sesungguhnya kehidupan mereka tidak mudah Akibat blokade, krisis ekonomi cukup terasa. Di Gaza, penghasilan seorang dokter spesialis USD 1500 per bulan, dokter umum USD 5000-1000. Sedangkan untuk pegawai biasa gajinya USD 3000-5000. Pengangguran mendapat subsidi USD 2000 per bulan dari pemerintah. Biaya pendidikan & kesehatan gratis, termasuk untuk pengobatan penyakit-penyakit serius seperti kanker, lever, jantung atau penyakit berat lainnya yang biayanya puluhan ribu dollar. Untuk biaya kesehatan tersebut, gaji para pegawai dipotong asuransi sebesar USD 20 per bulan, sedangkan untuk pengangguran asuransi kesehatan dibayar pemerintah..
Harga barang cukup tinggi di Gaza dibandingkan dengan Jakarta. Secangkir teh seharga 3 sekhel (1 sekhel sekitar Rp. 2.000,-), roti is tanpa isi 3 sekhel. Kami pernah makan nasi berlima menghabiskan 250 sekhel. Dengan harga yang tinggi tersebut, penghasilan masyarakat sangat terbatas untuk hidup nyaman. Pendapatan Gaza sebagian berasal dari donasi luar negeri, termasuk Amerika Serikat. Jadi menurut mereka : kami ini disenangkan, digemukkan untuk kemudian ditembaki. Masya Allah…. Hebatnya, kehidupan masyarakatnya tetap damai (di luar adanya agresi), penampilannya tenang, nada bicaranya kalem, tidak ada pertengkaran laiknya di negara Arab lainnya. Paras wajahnya, perempuan dan laki-laki, yang manis dan lembut lebih banyak paras Persianya dibandingkan Arab. Saya sangat terkesan dengan Misrina, suster di RSIA yang cantik dan lembut dan juga Kholid Yassin, imam masjid Abbas yang sangat cool (pemuda 23 tahun, berjins & jaket kulit, hafidz Qur’an yang nada bicaranya halus dan selalu menunduk). Kata Pak Okvianto, yang lebih cool justru muadzinnya, yang lebih berparas Persia, tapi karena saya tidak bertemu dengannya saya tidak bisa membandingkan keduanya. Yang jelas karena keduanya hafidz Qur’an, pasti mereka sama-sama keren. Kesan keempat, sepandai apapun mereka menutupi kondisi kepedihan akibat perang, tetap saja perang menimbulkan kecemasan dan kengerian. Yang paling terasa adalah kerahasiaan yang sangat dijaga mereka. Di RS tidak ada catatan tentang jumlah pasien, data pasien dan kondisi mereka. Dokter Indonesia yang membantu hanya disodori status pasien saat hendak memeriksa, itupin didampingi petugas Gaza. Saya yang tinggal di RSIA tidak bisa mendapatkan data jumlah bayi yang lahir. Bayi yang lahir langsung dibawa pulang dibungkus dengan selimut rapat-rapat. Pasien yang mengalami sectio caesaria yang harus dirawat ditempatkan di ruangan khusus yang pintunya dikunci dan hanya dibuka oleh petugas ketika pengunjung menunjukkan keterangan. Saat saya mencoba menanyakan jumlah yang lahir, penanggung jawab RSIA menolak dan meminta saya menanyakan langsung kepada direktur RSIA. Tetapi melihat padatnya pengunjung dan besarnya RS saya kira ratusan bayi yang setiap hari dilahirkan di RSIA. Menurut informasi katanya ada 3000 an bayi yang lahir selama masa agresi. Alhamdulillah, mudah-mudahan semakin banyak bayi lahir di Gaza yang akan memperkuat tanah kelahiran mereka.
Kesan berikutnya, tanah Gaza memang bumi jihad. Warganya sangat sabar dan tabah. Mereka tidak takut kematian, bahkan anak-anak pun. Ketika saya tanya kepada public relation UCLA, ustadz Darul Qur’an, Ummu Suadatery (ibu tiga orang syuhada), Ummu Rasyid (cleaning service RSIA keturunan Afsel) apakah mereka tidak takut dengan kematian, jawaban mereka seragam : kematian adalah takdir Allah, yang tidak bisa dihindarkan. Kematian hanya terjadi jika memang sudah sampai takdirnya. Kalaupun meninggal, kami akan mendapat tempat yang lebih baik, begitu keyakinannya. Subhanallah.
Kesan lain, tentang anak-anak Gaza. Mereka adalah anak-anak riang, optimis tak terlihat mengidap trauma perang. Mereka sangat suka difoto. Saurin…saurin begitu katanya setiap melihat kami. Di Jabaliyah, saya dikerubuti lebih dari sepuluh anak usia 4-10 tahun yang bolak-balik mengajak salaman dan menginginkan saya mengingat dan menyebut nama-nama mereka. Ahmad, Muhammad, Musa, Abdurrahman dan sebagainya…. mereka sebutkan berulang-ulang sambil menunjuk dirinya. Ketika saya berhasil mengingat nama-nama dan muka-muka mereka yang mirip mereka berebut bersalaman dan bersorak-sorak gembira. Saya terharu, teringat anak-anak saya di rumah yang saat ini sedang tenang belajar, nyaman dan aman tanpa kekhawatiran apapun. Sebaliknya mereka, tetap riang dan semangat meskipun ancaman roket dan bom mengacung kepada mereka. Subhanallah, ya Allah lindungilah mereka. Mereka anak-anak yang akan melanjutkan perjuangan Palestina. Semangat anak-anak juga terlihat di tahfidzul Qur’an, bahkan dalam suasana perang pun mereka tidak absen datang menghafal Qur’an. Semangat juga saya temukan pada diri Ahmad Yassin bin Alauddin Yassin. Bocah 5 tahun itu begitu bangga mengenakan kostum mujahid lengkap dengan ikat kepala hijau dan senapan mainan saat mendampingi ayahnya menerima kami.
Kesan berikutnya tentang pejabat Gaza. Di beberapa lembaga, kami menjumpai mereka sebagai orang-orang tawadhu’ yang selalu menjaga wudhu. Di Indonesia menjaga wudhu juga sudah banyak dilakukan masyarakat. Tapi di Gaza yang dingin, tentu tidak mudah untuk selalu menjaga dari dari hadas. Tapi mereka tidak berat melakukan sunnah Rasul tersebut..
Kesan lain, seperti di negara Mesir dan saudi Arabia, softdrink seperti coca cola, pepsi, mirinda dll sangat mudah dijumpai, di warung maupun di jamuan makan. Bahkan pepsi juga terlihat pada sebuah foto pertemuan pejabat Palestina yang dihadiri Syekh Ahmad Yassin. Saya agak heran, mengapa mereka yang benci Amerika dan Israel justru mengkonsumsi produk-produk mereka. Sementara di Indonesia, Malaysia dan negara lain termasuk Afrika Selatan (kata dokter Afsel yang saya temui di RS) sedang dikampainyekan boikot produk Amerika. Saya sempat bertanya kepada staf UCA tentang hal tersebut dan ternyata jawabannya cukup mengejutkan. Katanya seluruh produk yang kami konsumsi : daging, sayuran, buah-buahan, air kemasan, bahan pangan lainnya, pakaian dan sebagian besar produk berasal dari Israel. Jadi buat kami minum air putih sama saja dengan minum cocacola karena sama-sama produk Israel. Kami tidak punya pilihan. Kami mendukung perjuangan negara-negara muslim melalui boikot produk Amerika, tapi kami berjuang melalui perang dan senjata. O….jadi begitu, saya mulai bisa memahami mereka. Hanya sedikit warga Gaza yang memahami bahasa Inggris (sebagian besar kalangan akademisi) karena mereka begitu benci kepada Amerika sehingga tidak mau mempelajari bahasa mereka.
Kesan yang paling mendalam, karomah-karomah yang terjadi di Gaza. Dari jama’ah masjid kami mendapatkan cerita tentang karomah-karomah yang terjadi selama masa agresi. Setidaknya ada lima karomah yang saya ingat.
Pertama, pasukan malaikat turut berperang di Gaza. Ini terbukti dari cerita seorang mujahid yang lolos dari tawanan Israel. Ketika tertawan tentara Israel, dia diinterogasi tentang jumlah mujahid dan menanyakan tentang pasukan berjubah putih yang ketika ditembak berkali-kali tidak mati. Karena merasa tidak mengenal pasukan tersebut, sang mujahid menjawab tidak tahu. Tentara Israel tidak puas dan berkali-kali menanyakan hal yang sama sambil mencederai sang mujahid sampai kakinya harus diamputasi. Sang mujahid tetap mengatakan tidak tahu. Berkat pertolongan Allah, mujahid yang cedera ini berhasil lolos dan menceritakan bantuan pasukan malaikat ini.
Karomah kedua, untuk melawan mujahidin, tentara Israel menyiapkan anjing-anjing doberman yang dibiarkan kelaparan untuk mengejar dan menyerang mujahidin di sekitar perbatasan Gaza. Suatu hari anjing-anjing doberman tersebut dilepas untuk memburu mujahidin, ketika si doberman sudah mendekat, sang mujahidin mengajaknya berbicara. Ya Anjing, kami sedang menjalankan perintah Allah untuk membela hak kami dan melawan kaum musyrikin, jadi jangan halangi kami, begitu kira-kira ucapan sang mujahidin dalam bahasa Arab kepada si doberman. Dan subhanallah, si anjing tiba-tiba berhenti, terdiam dan dengan menunduk kembali ke tentara Israeil.
Ketiga, seorang mujahid sedang diserang bertubi-tubi oleh tank Israel. Sang mujahid berlari-lari menyelamatkan diri dari kejaran tank, tiba-tiba tembakan tank terkena pohon besar yang langsung tumbang menjatuhi sang mujahid. Tentara Israel mengira sang mujahid sudah tewas sehingga meninggalkan tempat itu. Alhamdulillah, sang mujahid justru selamat terlindungi pohon, dia hanya lecet-lecet dan kembali ke pasukannya semula.
Karomah keempat, ketika ada keluarga yang anggota keluarganya menjadi syahid, mereka memutuskan untuk menguburkan jenazah-jenazah syahid tersebut dalam satu makam. Mereka menggali makam salah seorang keluarganya yang syahid tujuh tahun lalu. Dan saat digali, subhanallah….. jenazah itu masih utuh, awer persis sama seperti saat dimakamkan. Wajahnya masih bersih, rambut gondrongnya sebahu juga rapi bahkan dahinya masih berkeringat seolah-olah baru dimakamkan. Ini membuat mereka semakin yakin akan kekuasaan Allah dan membuat mereka semakin merindukan syahid.
Karomah kelima, seorang mujahid ditugaskan untuk menjaga jalan masuk Gaza agar tank-tank Israel tidak masuk ke Gaza City. Karena jumlah mujahid yang terbatas, lokasi itu hanya dijaga oleh seorang mujahid. Dengan tugas yang strategis tersebut sang mujahid tidak bisa meninggalkan tempat untuk keperluan pribadi. Karena setiap saat ada tank yang lewat yang harus dia tembak. Dia hanya berbekal kurma. Berkat bantuan Allah sang mujahid kuat duduk berjaga, mengintai jalanan dalam cuaca yang sangat dingin itu selama sebulan! Cerita tentang kepengecutan tentara Israel juga beredar. Saking takutnya mereka kepada para mujahidin, dikabarkan mereka selalu menggunakan pampers saat bertugas di dalam tank, agar mereka tak perlu keluar tank saat buang hajat.
Subhanallah….. Gaza memang luar biasa. Dengan karakter penduduknya yang sangat islami, suara hafalan Qur’an yang terus-menerus berkumandang, dan semangat jihad yang tak pupus, sangatlah wajar kalau Allah begitu mencintai mereka, sehingga keberkahan tetap terasa meski di tengah suasana perang.
Dengan kecintaan dan perlindungan Allah, kemenangan Gaza hanyalah soal waktu. Innallaha ma’al shabirin begitu keyakinan mereka.
Selamat berjuang rakyat Gaza, kami mendukung dan selalu mendoakanmu.