Eramuslim.com – Pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin terpuruk dan kini menembus angka 13.000 sejak 5 Maret 2015 lalu. Hingga akhir pekan lalu, Rupiah bahkan menembus level Rp 13.400. Rupiah pun diprediksikan bakal menuju level Rp 15.000.
Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi, Agus Tony Poputra mengungkapkan, depresiasi kurs masih akan terjadi dengan ancaman krisis moneter 1998 terulang kembali jika pemerintah dan Bank Indonesia tidak melakukan kebijakan substansial untuk mencegahnya.
Agus menjelaskan, pelemahan Rupiah memberi keuntungan bagi Indonesia karena dapat meningkatkan ekspor. Hal itu benar hanya jika ekspor Indonesia jauh melampaui impor. Faktanya impor Indonesia telah melewati ekspor pada beberapa tahun terakhir.
“Stabilisasi rupiah yang hakiki tidak dapat diselesaikan lewat kebijakan yang bersifat responsif, seperti membentuk Crisis Management Protocol (CMP) karena hanya memberi solusi jangka pendek,” ungkapnya di Jakarta, Minggu (14/04/2015).
Agus menyebut, ada lima faktor yang membuat rupiah sangat rentan terhadap pengaruh global, antara lain :
Pertama, Kurangnya usaha serius pemerintah selama beberapa dekade mendorong produksi barang substitusi impor. Hasilnya tekanan impor semakin deras yang berujung rupiah semakin terekspos.
Kedua, Lambatnya penerapan kebijakan hilirisasi terutama sektor pertambangan. Ini membuat sumber daya alam terdeplesi luar biasa, namun nilai tambah domestiknya sangat kecil. Selain itu, terjadi export illusion yang signifikan pada sektor pertambangan yaitu nilai ekspor besar, tapi devisa yang masuk kecil. Ini membuat dana pihak ketiga perbankan dalam negeri tumbuh melambat serta cadangan devisa tidak meningkat signifikan.
Selama 4 tahun terakhir, cadangan devisa Indonesia hanya berkutat pada US$ 95 sampai US$ 124,64 miliar. Posisi tertinggi US$ 124,64 miliar ini dicapai pada Agustus 2011. Angka tertinggi ini sulit dicapai kembali, karena Mei 2015 saja posisi cadangan devisa US$ 110,8 miliar. “Tidak kuat jika cadangan devisa itu buat intervensi rupiah dalam rangka stabilisasi rupiah,” tegasnya.
Ketiga, Lebih dari 20 tahun pemerintah tidak memperhatikan secara serius terhadap kebijakan lokal konten. Dampaknya nilai impor bahan baku semakin meningkat seiring bertambahnya permintaan produk untuk pasar domestik maupun ekspor.
Keempat, Meningkatnya perilaku konsumsi barang impor sebagai alat aktualisasi diri sehingga meningkatkan permintaan barang impor. Kondisi ini terjadi karena minimnya kampanye untuk menggunakan produk dalam negeri.
Kelima, Penerapan kebijakan devisa terlalu bebas. Ini mengakibatkan sulitnya mengendalikan pergerakan devisa. Akhirnya rupiah menjadi mudah dimainkan.(rz)