Pertama, soal menghargai waktu. Orang Belanda mengatakannya Op Tijd. Ini cuma sekedar contoh, tentu negara maju lainnya mirip. Belanda sangat terkenal dengan jadwal atau janji pertemuan. Jangan heran suatu waktu di tahun 90 an ketika ada kunjungan pemerintah Indonesia ke Belanda, pejabat kita heran lihat menteri mereka naik sepeda mengejar waktu untuk menghindari kemacetan di Denhaag, mengejar skedul meeting. Op Tijd. Tepat waktu.
Menghargai waktu adalah problem besar bangsa kita. Mutia Hatta, 2015, dalam kenangan 70 tahun antropolog Prof Koentjoroningrat, mempersoalkan rendahnya disiplin waktu bangsa kita. Kita mengenalnya “Jam Karet”. Jam karet adalah kita boleh berjanji dan kemudian sesukanya membatalkan atau tidak menepati, atau berjanji kemudian membiarkan tamu menunggu, atau bertemu orang seenaknya tanpa menghargai padatnya skedul atau agenda orang yang ingin ditemuinya (spontanitas).
Allah sendiri dalam firmannya menegaskan bahwa orang-orang yang mensia-siakan waktu akan merugi. Di barat sendiri dikenal istilah “time is money”. Lalu bagaimana budaya buruk “jam karet” ini bisa kita hilangkan?
Merubah budaya buruk ini adalah tugas berat semua orang. Namun, contoh seorang pemimpin, seperti Anies, yang menghargai waktu, perlu menjadi inspirasi.
Kedua, Anies meminta waktu sebentar untuk menunaikan shalat. Dan mempengaruhi tamunya juga untuk shalat. Ini adalah teladan yang dahsyat dan sulit ditemui saat ini.
Banyak elit elit pemimpin Islam yang tidak mementingkan waktu shalat, apalagi memikirkan shalat tamunya. Karena, shalat biasanya merupakan tanggung jawab masing masing kepada Tuhannya. Begitulah adab sekuler saat ini.