Sejak persidangan Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jaksel disiarkan secara live (langsung), banyak pihak menyayangkan content persidangan tersebut yang mendeskripsikan adegan vulgar antara Antasari dan Rani Juliani dikonsumsi masyarakat luas.
Kemudian, pembukaan rekaman pembicaraan Anggodo di Mahkamah Konstitusi pun dinilai sebagian kalangan sebagai tindakan yang tidak perlu. Hasilnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan gugatan kepada pimpinan media massa, khususnya televisi, untuk tidak menyiarkan sidang di pengadilan secara live.
Siang ini, (Selasa, 17/11/09), Dewan Pers bertandang ke Kantor KPI di Jln. Gajah Mada, Jakarta Pusat, untuk menyatakan ketidaksetujuan atas pelarangan KPI. Dewan Pers menilai wacana pelarangan tersebut bertentangan dengan kemerdekaan pers, keterbukaan informasi, dan hak asasi manusia. Sementara itu, Ketua KPI, Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D., membantah bahwa KPI akan menerapkan pelarangan penayangan langsung persidangan di pengadilan oleh media massa. Menurutnya, pelarangan itu baru sekadar wacana.
Saat ini, KPI sedang memproses finalisasi revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Perilaku Penyiaran (P3SPS). Pedoman tersebut akan menjadi panduan bagi seluruh media penyiaran, baik radio maupun televisi, soal apa yang boleh maupun tidak boleh diproduksi atau disiarkan.
Revisi dan modifikasi P3SPS dilakukan setiap dua tahun untuk menyesuaikannya dengan perkembangan di masyarakat dan dunia penyiaran. Selain itu, revisi tersebut juga mencantumkan ketentuan penayangan siaran langsung persidangan di pengadilan.
KPI Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor 541/K/KPI/10/09 tertanggal 18 Oktober 2009 berisi peringatakan kepada direktur utama seluruh stasiun televisi untuk tidak menayangkan siaran langsung (live) sidang di pengadilan.
KPI menilai banyaknya pelanggaran yang dilakukan beberapa stasiun TV, di antaranya dengan menyiarkan secara langsung maupun tayangan ulang pembacaan dakwaan jaksa pada 8 Oktober 2009 pukul 09.00 WIB yang mendeskripsikan secara vulgar tentang perbuatan mesum terdakwa Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang terlibat kasus pembunuhan Nasarudin Zulkarnaen.
KPI beranggapan tayangan tersebut bertentangan dengan UU 24/1997 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat (5) huruf b dan Standar Program Siaran (SPS) KPI Pasal 13, Pasal 17, Pasal 19 ayat (3), Pasal 39 dan Pasal 50.
Dewan Pers sontak menggugat balik KPI dan menyatakan KPI telah melanggar Pasal 28 F UUD 1945, yang menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi dengan berbagai saluran media yang ada.
Selain itu, tindakan KPI tersebut juga bertentangan dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2) yang isinya, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Di sisi lain, Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) menilai KPI juga telah melanggar UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Direktur LAPK, Farid Wadjid, menyatakan KPI seperti monster yang membungkam kebebasan berekspresi. “Sebagai konsumen, masyarakat berhak mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang segala yang terjadi di negara ini sehingga larangan KPI itu sangat bertentangan dan menghalangi masyarakat mendapatkan hak kebebasan informasi,” ujar Farid yang juga Dekan Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara.
Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi mempunyai pandangan lain, “Itu urusan KPI. Kalau MK akan disidangkan secara langsung,” kata Ketua MK Mahfud MD. Namun, Mahfud menambahkan, sidang senantiasa terbuka kecuali menyangkut tiga hal, yaitu peradilan anak, keluarga (perceraian), dan pornografi.
Kita tentu berharap, perseteruan ini tidak semakin meruncing. Kebebasan pers sah-sah saja asalkan tidak mendewakan informasi dan keterbukaan. Jika memang ada hal-hal yang vulgar dan tidak perlu diekspose media, ada baiknya pers juga mempertimbangkan saran KPI untuk men-delay siaran selama 5-10 menit agar editor mempunyai waktu untuk mengedit tayangan sebelum disiarkan. (Ind/berbagai sumber)