Eramuslim.com – Tahukah anda berapa jumlah pasir yang dibutuhkan untuk merealisasikan reklamasi 17 pulau buatan di Teluk Jakarta?
Data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan untuk mereklamasi pulau per hektar dibutuhkan 632.911 meter kubik pasir. Total luas reklamasi 17 pulau adalah 5.513 hektar. Berdasarkan data itu, dari hitungan sederhana bisa dihitung kebutuhan pasir untuk realisasikan 17 pulau dibutuhkan pasir sebanyak: 632.911 x 5.513 = 3.489.238.343 meter kubik pasir atau disederhanakan sebut saja 3,5 miliar meter kubik.
Pertanyaan muncul, dari mana pasir sebanyak itu didapatkan?
Kiara menemukan sebagian pasir antara lain disedot dari Kepulauan Seribu dan dibawa secara ilegal oleh kapal Cristobal Colon asal Luxemburg. Kapal ini disewa oleh PT Energy Marine Indonesia, yakni pemasok pasir untuk PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Group) yang diketahui memegang izin reklamasi mulai dari Pulau A sampai E. Dari informasi yang dihimpun, kapal itu sanggup angkut 46 ribu meter kubik sekali tarik.
Temuan terbaru, kapal pengeruk pasir Vox Maxima yang sedang lakukan aktivitas serupa di Teluk Jakarta. Sejauh ini tercatat sudah lima pulau di Kepulauan Seribu yang hilang dari 15 pulau yang selama ini dikeruk untuk pasokan pasir demi realisasikan reklamasi. Atau terhitung ada 2 juta meter kubik pasir yang hilang. “Ini setara dengan kurang dari seperseratus kebutuhan pasir untuk membuat 17 pulau baru di Teluk Jakarta,” kata Halim.
Selain menyedot pasir dari Kepulauan Seribu, demi reklamasi Teluk Jakarta, pasokan pasir juga didatangkan dari Lampung, Bangka, Jonggol, Banten, Pantai Jawa Barat, Pantura Jawa Barat bagian timur dan pasir bekas letusan Gunung krakatau.
Dari hal pengerukan atau penyedotan pasir saja sudah jelas akan berdampak kepada ekosistem. Tidak hanya di lokasi pengurukan reklamasi saja. “Tapi juga kerusakan di lokasi pengambilan pasir,” ucap Sekjen Kiara, Abdul Halim kepada Aktual.com, Jumat (15/4).
Bupati Mencak, Bupati Dicopot
Mengenai aksi kapal Cristobal, di 2015 lalu, Bupati Kepulauan Seribu Tri Djoko Sri Sumargiono saat itu, juga sudah mencak-mencak. Lantaran aksi pencuri pasir yang sudah jelas kepergok itu tidak pernah kena sanksi. Ditambah lagi izin kapal Cristobal Colon juga sudah habis per 31 Desember 2014.
Sang bupati mengatakan nelayan sendiri yang mengabarkan kepadanya di awal Januari 2015 soal aksi pencurian pasir kapal Cristobal Colon. Beber Djoko, lima pulau DKI hilang akibat pasirnya dicuri kapal yang sama.
Kesal, Djoko pun melapor kasus ini ke Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri 9 Maret 2015 yang saat itu dipimpin Komjen Budi Waseso. Tapi kasusnya mandek. Ahok yang biasanya galak untuk urusan begini, kali ini duduk manis saja. Aneh.
Keanehan terus berlanjut. Djoko yang baru menduduki jabatan Bupati Kepulauan Seribu dari tanggal 2 Januari 2015 itu, tidak lama dicopot dan ditunjuk langsung oleh Ahok pada 3 Juli 2015 untuk menjadi Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta.
Meski ditunjuk langsung oleh Ahok, alias tanpa tes, karir Djoko sebagai Kadis Tata Air DKI malah berjalan terjal. Ahok terus mengkritik dia, misal soal pengerukan waduk yang dianggap lamban. Sempat beredar kabar Ahok bakal menendang dia. Tapi sebelum itu terjadi, Djoko malah sudah lebih dulu mengundurkan diri awal Desember lalu. Alasannya kesehatan. Tapi tak lama dia mengaku karena merasa sudah tidak ‘klop’ kerja dengan Ahok. Cara-cara seperti ini yang menimpa Djoko mirip dengan pendepakan karyawan yang dianggap tidak loyal kepada atasan di perusahaan aseng: Dicopot dari jabatan awal, dipindahkan ke tempat yang tidak enak, terus-menerus disalahkan hingga merasa tidak nyaman, dan akhirnya menyerah dengan pengunduran diri, karena perusahaan tidak mau bayar pesangon. (ts/aktual)