Bahkan lebih dari itu, sektor ekonomi informal pun seperti penyediaan kebutuhan pokok makan dan minum sudah dikerjakan oleh para TKA di lingkungan industri tempat mereka kerja. Sehingga tak heran jika beberapa warga di Jawa Timur yang bertemu dengan Tim 5 dari Ombudsman menyamakan kondisi sekarang sama dengan zaman si Pitung.
Mengapa arus TKA itu begitu gencar, khususnya asal Tiongkok? Pertama, mengikuti modal yang diinvestasikan di Indonesia. Sederhana sekali menjelaskannya. Uang dari investor Tiongkok, mesin-mesin smelter diimpor dari Tiongkok dengan seluruh komponennya dijelaskan dalam bahasa Mandarin sehingga hanya para pekerja dari Tiongkok lah yang bisa mengoperasikannya, mulai dari instalment hingga sampai perawatannya. Maka di situlah keunggulan para TKA asal Tiongkok dan sekaligus meniadakan peluang kerja bagi para buruh lokal di Nusantara ini.
Kedua, tiadanya kewajiban untuk berbahasa Indonesia dan sekaligus tak ada kewajiban untuk transfer keahlian secara berjangka sebagai syarat dalam mempekerjakan warga negara asing di Indonesia. Ini sangat menyedihkan. Karena dalam peraturan perundangan sebelumnya sebenarnya sudah secara tegas memberlakukan syarat itu. Hanya saja kemudian digugurkan melalui sebuah peraturan Menaker tahun 2015 lalu.
Ketiga, adanya kebijakan visa on arrival, diduga secara efektif dimanfaatkan oleh para TKA ilegal itu. Data wisatawan asing yang masuk Indonesia dalam 1 tahun terakhir, misalnya, yang berasal dari Cina lebih dari 1.3 juta orang (peringkat pertama), di mana diduga sebagian besar menjadi TKA di sektor industri ekstraktif itu.
Keempat, terkait dengan yang ketiga, sangat lemahnya pengawasan dalam terhadap perjalanan dan aktivitas dalam negeri dari para pengguna visa turis itu.
Begitulah adanya. Mudarat dari investasi asing untuk bidang pertambangan dan enerji adalah lebih besar ketimbang manfaat bagi kesejahteraan rakyat bangsa ini.(kl/ts)