Krisis Keuangan Akan Menerpa Indonesia Lebih Dahsyat

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dianggap justru dapat mendatangkan krisis yang lebih dahsyat di Indonesia, dibandingkan di negara asalnya. Sebab sudah ada gejala-gejala yang menunjukkan indikasi ke arah tersebut.

Ekonom INDEF Iman Sugema mengatakan, salah satu indikasinya adalah laju penurunan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang jauh lebih besar dibandingkan laju penurunan di Dow Jones AS.

"Laju penurunan di BEI sekarang jauh lebih besar dibandingkan laju penurunan di AS sekalipun. Indonesia 47,1 persen saham terkoreksi dari nilai saham tertinggi. Dow Jones hanya 30 persen. Thailand waktu itu (krisis 1997-1998) depresiasinya hanya sekitar 30 persen, Indonesia 70 persen," katanya dalam diskusi di Gedung DPR, Jumat (10/10).

Indikasi lainnya, suspensi yang dilakukan di BEI selama tiga hari ini, menurutnya langkah yang tak dilakukan AS sebagai negara yang menjadi sumber krisis. "Di Indonesia, krisis ini lebih dahsyat dibanding AS sendiri dan Eropa. Oleh karena itu, harap perhatikan hal-hal seperti ini jangan dianggap enteng," ujar dia.

Sehingga, lanjutnya, sangat salah apabila pemerintah mengatakan fundamental Indonesia akan aman-aman saja, dan tidak akan berpengaruh terhadap kemiskinan.

Pemicu krisis tahun 1997-1998 juga dikatakan Iman sama dengan pemicu krisis yang terjadi pada tahun ini, yaitu faktor eksternal. Krisis keuangan global bermula dari AS. Kredit perumahan di negeri itu macet dan membuat banyak firma keuangan bangkrut seperti Lehman Brothers dan Washington Mutual.

Pernyataan Iman itu, diamini oleh ekonom ECONIT Hendri Saparini. Bahkan Ia mengatakan, selama ini pemerintah menggunakan paradigma yang salah dengan mengikuti konsensus Washington, sehingga tidak ada kebijakan yang mampu diambil pemerintah.

Karena itu, Hendri menyarankan, pada kondisi seperti saatnya pemerintah dapat menunjukaan keberpihakannya kepada kelompok menengah bawah."Tahun 1998 kelompok menengah bawah mengalami krisis tapi yang mengalami recoveri paling cepat adalah kelompok menengah atas, hal itu tidak boleh lagi terjadi," ujarnya.

Selain itu, Ia menambahkan, Pemerintah harus bisa memilih kebijakan yang dapat memperkecil resiko ekonomi. Karena perlu melakukan restrukturisasi, sebab selama ini realisasi budget sangat lemah. "Pemerintah harus merevisi asumsi makro ekonomi jangan sampai terjadi kesalahan yang sangat fatal," pungkasnya. (novel)