Sistem alternatif yang dapat menyelamatkan krisis yang berkepanjangan itu tidak lain adalah dengan sistem ekonomi Islam. Demikian diungkapkan oleh Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto dalam pernyataan pers terkait Krisis Financial Global.
" Berbeda dari Kapitalisme, sistem ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat secara riil –-bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja-– sebagai isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan. Sistem Islam memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda tentang ekonomi, sehingga jalur pengembangan ekonominya pun berbeda dari Kapitalisme," katanya.
Menurutnya, dalam sistem ekonomi Islam negara diwajibkan untuk memiliki peran langsung dalam pencapaian tujuan ekonomi, dan tidak begitu saja membiarkannya kepada sistem pasar bebas. Disamping itu, ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi dan Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, sehingga haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang.
"Sesungguhnya terjadinya kegoncangan pasar modal di Barat dan di bagian dunia lain itu telah menelanjangi kebobrokan sistem ekonomi kapitalis, sistem perseroan terbatas atau syarikah musahaman, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel," ujarnya.
Lebih lanjut Ismail mengatakan, sebenarnya sistem ekonomi kapitalis saat ini tengah berada di tepi jurang, jika tidak mencari jalan penyelesaian akan terperosok ke jurang terdalam.
Ia menilai, semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaan, kecuali hanya menjadi obat yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Dan sejumlah paket kebijakan yang direncanakan pemerintah untuk menahan laju gelombang krisis finansial global agar tidak berperanguh buruk terhadap perekonomian Indonesia, seperti di-suspend-nya perdagangan di lantai bursa, program buy-back saham-saham BUMN, perbaikan regulasi di BEI, percepatan belanja negara dan sejumlah langkah lain, dipercaya tidak akan mencukupi, terbukti rupiah terus mendapatkan tekanan hingga mencapai level Rp 10.000 per dollar AS.
"Kalaulah Indonesia ‘terhindar’ dari dampak lebih buruk, itu sifatnya sementara karena sistem ekonomi dan keuangan Indonesia tidaklah berbeda dengan sistem ekonomi dan keuangan global yang saat ini tengah goncang, yakni kapitalisme. Dengan kata lain, ini hanya menunda kejatuhan. Bahkan, sangat mungkin lebih parah di masa mendatang," tandasnya. (novel)