Menyambut bulan Ramadhan 1429 Hijriah, KPI Pusat berencana mengeluarkan surat edaran kepada semua lembaga penyiaran untuk menjaga isi siarannya dari muatan yang dapat mengganggu kekhusyukan ibadah umat Islam. Hal ini disampaikan Ketua KPI Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja menyambut usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) dalam Diskusi Publik ”Yang Boleh dan Yang Tidak: Program Televisi Bulan Ramadhan”, di Jakarta Media Center, Jakarta Pusat, Senin (7/7).
Bentuk surat edaran tampaknya akan dipilih oleh KPI ketimbang harus mengeluarkan aturan khusus bulan Ramadhan ke dalam Peraturan KPI No. 03/2007 tentang Standar Program Siaran (SPS). Namun, Sasa tidak menampik kemungkinan ke depan revisi SPS akan memuat ketentuan khusus seperti itu. ”Ini dapat menjadi pertimbangan, karena menurut kami, SPS yang dipakai saat ini masih perlu disempurnakan, " ujarnya.
Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI, Said Budairy menyampaikan, sampai saat ini masih banyak keluhan yang disampaikan masyarakat melalui lembaganya terkait dengan muatan siaran televisi. "Mereka ingin inderanya terpelihara dari perkataan-perkataan dan tayangan yang jorok/porno, inderanya terpeliharan dari tayangan kekerasan, maupun nuraninya terpelihara dari gangguan-gangguan dialog sinetron atau film televisi yang kesimpulannya menghalalkan apa yang dilarang agama, ” jelas Said.
Sementara itu, berdasarkan catatan LSF, pada Ramadhan pada tahun lalu masih banyak ditemui program acara atau isi siaran bermuatan negatif, seperti kandungan mistik, erotik (seks/porno), dan kekerasan. LSF juga mencatat beberapa program acara yang positif, namun jumlahnya tidak banyak. Selain itu, LSF juga kembali menyorot penayangan film-film yang awalnya diperuntukkan untuk bioskop tetapi masuk ke layar televisi. "Kategori untuk bioskop berbeda karena sejak awal diandaikan penontonnya terbatas, ” jelas Wakil Ketua Komisi Evaluasi Sosialisasi LSF Djamalul Abidin Ass.
Infotainmen Tidak Bermanfaat
Selain bentuk film, infotainmen kembali dipersoalkan, apakah masuk sebagai ranah pers atau tidak. MUI, LSF, serta sebagian peserta diskusi mengeluhkan buruknya materi tayangan infotainmen. Dalam perspektif agama, menurut Said maupun Djamalul, tayangan ini jelas termasuk ghibah (menggunjingkan orang lain meski sifatnya fakta) yang dilarang oleh ajaran Islam. Dalam perspektif lain, Kukuh Sanyoto dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) melihat bahwa tayangan infotainmen yang ada sering tidak memberikan informasi yang memiliki perikehidupan publik.
”Jika dalam Islam ada ajaran yang mengharamkan memakan binatang yang hidup di dua alam, kami ingin tahu di mana sebenarnya tempat infotainmen ini, ” tanya Said sambil memberi perumpamaan.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menyatakan bahwa sepanjang apa yang disampaikan bersifat fakta, masih diperkenankan.
Hanya saja, tambah anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi, dalam kasus penyiaran memang perlu dipertimbangkan apakah informasi yang disiarkan itu mengandung kepentingan publik luas mengingat lembaga penyiaran bersiaran dengan menggunakan frekuensi sebagai barang milik publik. ”Jangan hanya untuk sensasi yang tidak ada nilai kepentingan publiknya. Sekarang ini sebenarnya banyak hal yang sebenarnya tidak perlu disiarkan, ” pungkas Alamudi.(novel/kpi)