Kontroversi RPM Kominfo Soal Konten Media

foto: republika.com

Ada yang heboh dari kementerian informasi dan komunikasi atau Kominfo, pekan lalu. Kehebohan tersebut masih berlanjut hingga saat ini. Pasalnya, kementerian yang dinakhodai Tifatul Sembiring ini melakukan uji publik tentang rancangan peraturan menteri atau RPM tentang konten media.

Pada hakekatnya, RPM ini punya maksud bagus, melindungi warga negara dari konten media yang buruk seperti pornografi, fitnah, dan lain-lain. Tapi, ada yang belum pas jika dicocokkan dengan perundang-undangan yang ada. Terutama hal yang terkait dengan media dan teknologi informasi.

Menurut AJI, RPM tersebut pada intinya melakukan pelarangan distribusi konten, mewajibkan blokade dan penyaringan konten serta membentuk tim yang berfungsi sebagai lembaga sensor.

Hal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 4 UU No 40 tahun 199 tentang Pers. Pasal 4 ayat (2) UU Pers mengatakan: “terhadap pers tidak dikenakan sensor, bredel dan larangan penyiaran” dan ayat (3) mengatakan “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.

AJI menyatakan, tak disebutkan dalam RPM konten itu bahwa ketentuannya tidak berlaku bagi Pers. "Bahkan, UU Pers dijadikan konsideran dalam rancangan peraturan ini, namun nafas dan jiwanya tidak mewarnai rancangan peraturan ini," sebut pernyataan AJI.

Ketidaksetujuan terhadap RPM juga disampaikan ICT Watch, organisasi yang mempelopori dan memotori gerakan Internet Sehat.

"RPM itu sebaiknya hanya menyebutkan atau mengatur tiga konten yang dilarang, yaitu pornografi, kebencian atas suatu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan-red) dan terorisme," sebut pernyataan resmi ICT Watch yang disampaikan pada detikINET, Senin (15/2/2010).

Meski ketiga hal itu perlu diatur, namun bukan berarti pemerintah harus bersikap ‘tangan besi’ dengan turun tangan dan menindak. "Biarkan masyarakat yang memikirkan dan menjalankan, self-regulated," lanjut pernyataan itu.

Pemerintah, masih menurut ICT Watch, diharapkan bisa memfokuskan upayanya untuk mendorong kegiatan menumbuhkan konten lokal yang positif daripada sibuk melarang-larang. Sebab, keberadaan dan dampak konten negatif dapat dilawan, diminimalisir atau ditekan dengan digelontorkannya konten-konten lokal yang positif sebanyak mungkin.

Kritik juga dilontarkan pengamat internet Nukman Luthfie. Menurutnya, RPM Konten Multimedia ini sudah keliru dari sisi yang fundamental. Yakni di bagian menimbang point a yang berisi ‘Bahwa konten memiliki peranan, pengaruh, dan dampak yang signifikan dalam penyelenggaraan jasa multimedia, baik terhadap penyelenggara jasa multimedia itu sendiri maupun terhadap masyarakat pada umumnya dan pada khususnya anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh pembuatan, pengumuman, dan/atau penyebarluasannya’.

“Kalau dilihat, RPM yang dibidani Kementerian Konten Multimedia ini ditujukan untuk mereka yang dirugikan dari suatu tindakan orang lain. Buat apa? Hal ini sudah diatur di KUHP. Gak perlu lah, dari sini sudah bisa dilihat alasannya sudah salah. Urusan hukum itu tidak melihat tindak kriminal di dunia maya dan dunia nyata," tukasnya.

Selain itu, terkait pasal 6 yang isinya melarang penyelenggara mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang mengandung berita bohong dan menyesatkan.

"Itu juga sudah diatur di UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Tumpang tindih gak karuan. Saya kira ini gak perlu, hukum lain sudah mengatur dan tingkatnya sudah lebih tinggi," lanjut Nukman.

Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pun ikut mengkritik RPM ini. Menurutnya, untuk mengatur kebebasan berbicara seharusnya menggunakan UU bukan peraturan menteri.

"Pada prinsipnya, dalam UUD, mengeluarkan pendapat baik tulisan atau lisan dan kebebasan berbicara itu diatur oleh UU bukan oleh Permen atau PP," ujar Mahfud usai menghadiri silaturahmi ikatan alumni UII di Gedung Dephub, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Minggu (14/2/2010).

"Jadi untuk soal pembatasan, mestinya menggunakan UU bukan PP atau Permen. Apalagi setiap upaya yang ingin membelenggu kebebasan pers, harus dengan UU. Karena dalam pasal 28 jo ayat 2 hak setiap orang itu dibatasi oleh hak orang lain dan hak kewajibannya oleh bangsa dan negara," tandas Mahfud.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S. Dewa Broto memahami kritik dan saran dari komponen masyarakat sebagai konsekuensi dari uji publik yang dilakukan Kominfo hingga tanggal 19 Februari ini.

Kominfo pun, lanjut Gatot, siap menampung serbuan tanggapan, masukan, kritik dari masyarakat umum untuk kemudian bakal menjadi bahan baru untuk dibahas di internal Kominfo.

"Kalau mau memberi masukan silakan, kami tampung sampai 19 Februari ketika masa uji publik tersebut berakhir. Namun ada kemungkinan uji publik itu diperpanjang jika animo masyarakat meningkat," kata Gatot.

Kontroversi rancangan peraturan dari Kominfo ini mengingatkan publik dengan RPP penyadapan yang juga menimbulkan pro dan kontra. Anehnya, pro kontra tersebut persis pada soal yang sama, yaitu pada tumpang tindih antara peraturan pemerintah dengan undang-undang yang sudah berlaku. (mnh/detik)